Kamis, 19 Maret 2015

Pertanyaan Filsafat


Jutaan pertanyaan yang terlontar dari anak-anak merupakan
sebuah bukti bahwa anak-anak selalu penasaran serta ingin memnuaskan rasa ingin
tahunya. Dari pertanyaan yang ringan, seperti mengapa kita harus mandi setiap
hari, mengapa saya kecil sementara orang-orang lain kok lebih besar? Sampai
pertanyaan-pertanyaan yang cukup berat seperti mengapa api panas dan es dingin,
apakah ada makhluk hidup selain di Bumi? Bagi anak-anak, dunia dan segala yang
dilihatnya itu adalah baru, sesuatu yang membangkitkan keheranan mereka. Ini
tidak berlaku lagi bagi orang dewasa, kebanyakan dari mereka yang sudah dewasa
melepaskan dan membiarkan keheranannya setahap demi setahap mati dan kemudian
menganggap semua yang terjadi memang begitu adanya, tanpa perlu untuk diketahui
asal muasal dan apa penyebab segala sesuatunya

#gobindvashdev – happinessinside

Selasa, 10 Maret 2015

Ngapain Bekerja ?

Ada satu pertanyaan yang hampir pasti ditanyakan jika saya berjumpa dengan sabahat-sahabat lama atau teman-teman baru saya, yaitu apa pekerjaan anda? Atau bekerja di mana? Sedang bisnis apa? Kedengarannya ini pertanyaan mudah, tetapi perlu beberapa saat bagi saya untuk menjawabnya, walaupun sudah ratusan kali saya mendapat pertanyaan yang sama. Entah mengapa saya selalu kesulitan untuk spontan menjawabnya. Selalu muncul huruf “M” yang panjang sebelum menjawabnya, seringkali saya jawab bahwa saya seorang penganggur. Lalu sang penanya umumnya akan berkata, “Mana mungkin?”

Sejak kecil saya tidak pernah suka bekerja, belajar untuk menghadapi soal-soal ujian nasional pun saya enggan, apalagi ujian biasa. Bahkan, tidak jarang saya berjanji untuk tidak memegang lemari buku selama ujian berlangsung. Namun walau tidak suka bekerja dan belajar, jangan diasumsikan bahwa saya adalah anak yang malas. Dibalik semua “kemalasan bekerja”, sebenarnya saya adalah anak yang sangat rajin untuk bermain. Buat saya tidak ada kata “capek” untuk bermain atau melakukan yang saya sukai.

Saya sangat suka pergi ke suatu tempat yang baru, bertemu dengan sesuatu yang baru, bereksplorasi dengan hal-hal yang belum pernah saya ketahui sebelumnya. Ada jutaan pertanyaan di kepala saya jika menemui hal baru. Sering saya kecewa karena banyak sekali pertanyaan-pertanyaan saya tidak terjawab. Bahkan ketika saya menanyakannya pada orangtua atau guru di sekolah. Berbagai jawaban saya dapatkan. Namun jawaban “emang begitu dari sananya,” adalah jawaban yang paling gampang terlontar, karena tak bikin pusing.

Kemalasan saya ini berlanjut hingga dewasa, sampai sekarang pun saya malas untuk bekerja.
Setelah lulus SMA, saya masuk ke Universitas hanya karena terdorong suatu harapan baru, bahwa semua pelajaran yang membosankan sewaktu di bangku sekolah tidak akan terulang. Seperti yang dapat diduga, saya keluar sebelum menggembol gelar sarjana. Saat itu, dari Surabaya saya pindah ke Jakarta dan ingin bekerja sekeras mungkin untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya agar kemudian saya tidak usah bekerja lagi. Yang terpikir saat itu adalah peluang apa yang ada dan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan rupiah.

Pagi sampai malam saya bekerja, saya tahu hati saya menangis dan menjerit, tetapi saya tidak peduli. Yang ada dalam kepala ini hanya sebuah pepatah yang saya yakin semua orang di negeri ini hafal luar kepala, yaitu “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.”

Semangat ’45 bertahan pada tahun pertama. Tahun selanjutnya, seperti kebanyakan orang yang telah lama bekerja di sebuah perusahaan, terbangun karena bunyi jam weker pukul 6 pagi, mata yang berat, badan terasa pegal. Otak kita pun mulai berperang antara satu bagian dan lainnya, yang satu berkata, “Ayo bangun, sudah pagi, gerakkan badanmu supaya sehat.” Yang satunya dengan lembut membujuk, “Tidurlah 5 menit lagi, kau kerja terlalu berat, tubuhmu perlu istirahat.” Setelah itu saya bangun dengan mata yang terbuka setengah dan menyeruput kopi sebagai sarapan sekaligus dopping. Tidak lama kemudian teringat akan banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan dan janji yang harus ditepati. Hhh … inikah hidup? Seperti inikah hidup yang harus setiap orang jalani? Apakah ada kehidupan yang lebih baik?

Setiap kali ada dorongan kuat untuk meninggalkan semua ini dan menjalani hidup sesuai keinginan, setiap kali itu pula timbul perasaan sayang jika semua yang telah dirintis harus ditinggalkan. Saldo tabungan yang meninggi setiap bulannya benar-benar telah menjadi bola besi yang terpasung di kaki ini.

Saya tahu gaya hidup saya sangat kacau, dan mengorbankan banyak hal termasuk kesehatan dan yang paling parah adalah mengorbankan kedamaian pikiran. Padahal jika dipikir-pikir, apapun yang kita lakukan dalam mencari kesenangan atau mengumpulkan materi tujuannya adalah untuk mendapatkan kedamaian pikiran. Namun pada saat itu saya seolah-olah tidak sanggup untuk melepaskan, ada sisi lain dari dalam diri yang berkata, “Korbankan sebentar, nanti kau akan bahagia selamanya.”

Saya yakin banyak dari kita yang mengalami yang saya alami, merasa bosan dengan rutinitas seperti robot. Kita melakukan hal yang sama setiap harinya. Hidup terasa tanpa makna, tanpa sesuatu yang benar-benar memuaskan jiwa. Jikapun kita meminta cuti untuk liburan dan refreshing ke suatu tempat yang baru, itu hanya sekedar kebutuhan fisik dan pikiran sesaat. Dan yang menarik, setelah selesai liburan, muncul kemalasan seperti halnya anak kecil yang esok harinya akan masuk sekolah setelah libur panjang.

Nasib baik mendatangi saya, apa yang saya kumpulkan selama bertahun-tahun hilang dalam hitungan bulan, saya tidak akan membahas hal itu, itu tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah pelajaran yang mencerahkan diri saya setelah peristiwa itu.

Pada awalnya memang sangatlah berat, jendela masa depan terasa sudah tertutup rapat. Saya seolah-olah merasakan perasaan para miliarder yang pada awal krisis moneter 1997 tiba-tiba menjadi miskin sekali, bahkan lebih miskin dari pengemis di jalan karena banyaknya utang yang ditanggung. Dalam dunia yang serba tidak pasti ini, apapun dapat terjadi.

Kesibukan yang sebelumnya tiada henti berganti dengan hari-hari yang saya habiskan dengan merenung dan merenung. Handphone yang sebelumnya berdering setiap beberapa menit kini hening. Namun dalam perenungan itu, saya mendapat begitu banyak inspirasi, pencerahan. Saat seperti inilah yang mungkin disebut moment “Aha!” oleh banyak penyair, pencipta lagu, serta ilmuwan seperti Einstein dalam menemukan rumus spektakulernya, E=MC².

Saya tersadar bahwa apa yang manusia kumpulkan bertahun-tahun dapat hilang dalam hitungan detik. Apa yang kita pelajari dan kita diyakini sebelumnya dapat menjadi salah total. Dan yang lebih penting lagi, saya belajar bahwa kebahagiaan adalah sebuah pilihan. Ya, saya ingin memastikan dengan mengulangi lagi bahwa kebahagiaan adalah sebuah pilihan. Kita ingin bahagia atau tidak itu pilihan kita. Terus terang, memang tidak gampang menerima konsep ini. Saya dapat mengerti jika banyak pembaca yang tidak setuju. Kita telah terhipnosis oleh lingkungan kita sehingga kita merekatkan kebahagiaan dengan sesuatu di luar. Seperti saya akan bahagia jika mempunyai deposito yang bunganya dapat menghidupi diri saya atau bahagia jika sudah mendapatkan pasangan hidup.

Kita sering mengacaukan kebahagiaan dengan kesenangan duniawi. Kesenangan luar inilah yang kita kejar, bukan kebahagiaan yang di dalam. Terus terang kita sudah kehilangan arah, Socrates pada 25 abad yang lalu telah mengatakan, “Gnothi seauton (Kenali dirimu),” sebuah kata yang sederhana, tetapi maknanya sangat mendalam. Setahu saya kalimat ini juga dikatakan orang-orang suci yang datang ke dunia ini. Apa yang ingin dikatakan Socrates adalah: kita terlalu berorientasi ke luar.
Kita lupa menengok ke dalam, kita tidak menyadari bahwa setiap orang mempunyai misi individu. Pernahkah kita bertanya kepada diri sendiri, apa misi kita dalam hidup ini? Pastinya, kita bukan hidup untuk sekedar lahir, menikah, meneruskan keturunan, dan pulang kembali.

Mengenal diri sendiri merupakan kunci penting untuk membuka pintu untuk melangkah dalam hidup ini. Dengan bertanya pada hati kita misi hidup ini dan apa yang benar-benar kita inginkan untuk meraihnya, tujuan kita akan jelas. Dari sini kita dapat hidup dan bekerja karena pilihan, bukan peluang. Memang sulit awalnya untuk mengetahui misi kita, karena pikiran kita terbiasa berfokus keluar, bukan ke dalam. Namun mungkin kita dapat memulai dengan bertanya pada diri sendiri, pekerjaan apa yang senang kita lakukan walau tanpa dibayar sekalipun.

Jika kita sudah dapat menjawabnya, sebenarnya kita sudah mulai mengenal diri sendiri. Dan langkah selanjutnya adalah melakukan keinginan hati, atau yang sering kita dengar “ikuti kata hatimu,” lakukan apa yang hati katakan, kerjakan dengan sepenuh hati, kepuasan pun akan datang.

Paolo Coelho, dalam buku masterpiece-nya, The Alchemist, menulis dengan indahnya, “Di mana hatimu berada di sanalah hartamu terletak.” Jika seseorang bekerja sesuai panggilan hatinya, sebenarnya orang tersebut sudah dapat dikatakan tidak bekerja, karena dia hanya melakukan apa yang disukainya. Sejak saat itu, saya bertekad untuk bekerja hanya pada panggilan hati saya.

Saya sangat suka berbagi pengetahuan, dan saya senang sekali jika dapat memberikan sesuatu yang saya pikir berguna untuk seseorang. Itulah yang membuat hati saya bahagia, tetapi apakah saya dapat hidup hanya dengan melakukan itu? Terus terang pada awalnya banyak keraguan dan ketakutan. Keraguan mengingat banyaknya tawaran menggiurkan datang kepada saya untuk bekerja dan tinggal di Jakarta dengan gaji awal yang dapat dikatakan cukup tinggi. Ini makin memperbesar ketakutan apakah saya dapat bertahan dengan berbagi?

Dunia kita ini terlalu dan selalu berfokus pada apa yang bisa kita dapatkan sebelum melakukan pekerjaan. Hukum ekonomi yang semua orang pelajari berbunyi pengeluaran sekecil-kecilnya dan pendapatan yang sebesar-besarnya. Kita lupa bahwa sebelum kita memetik hasil, kita harus menanam dulu, jika kita ingin lebih maka kita harus melakukan lebih. Inilah yang dikatakan Oprah Winfrey pada 26 tahun yang lalu sewaktu dia memulai program talk show-nya yang mendunia. Bill Gates pun merintis Microsoft dengan susah payah dalam garasi rumahnya.

Hal ini mengingatkan saya pada pidato terkenal dari mendiang John F Kenedy, “Jangan tanyakan apa yang dapat Negara berikan kepada anda, tetapi tanyakan apa yang bisa anda berikan kepada Negara.” Pelayanan apa yang dapat saya berikan untuk membuat dunia lebih baik, nilai tambah apa yang dapat saya wujudkan untuk perkembangan manusia? Inilah yang seharusnya menjadi fokus kita semua. Jika kita percaya bahwa Pencipta kita adil, seharusnya kita tidak takut untuk berbuat lebih, bukan?

Yang menarik lagi, ketika kita fokus pada hasrat dalam diri sendiri dan fokus pada apa yang dapat kita berikan, kita tidak takut dengan persaingan. Kita sadar bahwa setiap individu adalah unik. Ketika kita dapat menggali dan menemukan keunikan dalam diri lalu menggunakannya dengan fokus “memberi”, kepuasan akan bertamu dalam diri kita.

Nah, sekarang percaya kan jika saya tidak bekerja, saya hanya melakukan apa yang benar-benar saya suka. Saya suka sekali berbagi. Saat ini saya berbagi melalui tulisan di majalah Psikologi Plus. Selain dari itu, saya juga berbagi melalui pelatihan stress management dan motivasi serta berbagi dalam talkshow mingguan di Radio Duta FM di Bali.

Suatu hari saya benar-benar kebingungan sewaktu harus mengisi sebuah formulir berbahasa inggris yang harus mencantumkan pekerjaan saya. Karena tidak boleh diisi dengan jobless (penganggur). Dengan bangga saya mengisinya dengan heartworker. J

#gobindvashdev – happinessinside


Body and Mind

Pasti banyak dari pembaca akhir-akhir ini sering mendengar istilah “Body and Mind” atau “tubuh dan pikiran”. Banyak juga yang mengerti bahwa keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Dari waktu yang tak terhitung lamanya, dalam kitab-kitab kuno seperti Ayurveda, hubungan keduanya telah tertulis dengan sangat jelas. Bahkan Socrates 2.400 tahun yang lalu pernah berkata, “Adalah suatu kesalahan jika memisahkan antara tubuh dan pikiran”.

 Kita semua tahu bahwa setiap pikiran dan emosi yang membungkusnya mempunyai efek yang langsung pada tubuh. Jika anda merasa sedih, tubuh anda akan terasa lemah, malas, wajah mengerut, gerakan cenderung melambat, dan secara postur, tubuh akan menunduk, tangan terlipat. Lalu jika anda sedang senang atau gembira, tubuh akan merasa penuh energy, tersenyum, melihat ke atas, dada dan tangan terbuka. Namun, tahukah anda bahwa hal sebaliknya pun dapat terjadi? Bahwa setiap gerakan yang kita lakukan mempengaruhi perasaan kita. Nah, disini mungkin pembaca akan bingung dan bertanya dalam hati, “Apa mungkin gerakan mempengaruhi perasaan?”

Sebelum pembaca berbingung ria dan penasaran, mari kita lakukan sebuah eksperimen kecil di bawah ini.
Pertama, dengan posisi duduk, cobalah anda melipat tangan anda kemudian geser pinggul anda sedikit ke depan tetapi punggung tetap bersandar sehingga duduk anda tidak tegak lagi. Kemudian merunduklah dan buat wajah anda berkerut tanpa senyum. Biarkan beberapa detik dalam keadaan tersebut. Sekarang, cobalah ingat-ingat peristiwa yang membahagiakan tanpa mengubah posisi tubuh dan wajah anda. Bisa? Sangat sulit sekali, bukan?

Sekali lagi, cobalah hal yang sebaliknya. Berdirilah, ambil selangkah maju dengan kaki kiri anda. Sambil melihat ke atas, angkat kedua tangan anda setinggi dan selebar mungkin sehingga tubuh anda menyerupai huruf “Y”, tersenyumlah dengan lebar dan cobalah berpikir tentang kesedihan. Sekali lagi, apakah dapat anda berpikir sedih dalam posisi tersebut?
Kedua eksperimen tadi telah membuktikan bahwa hubungan antara tubuh dan pikiran bukanlah satu arah melainkan dua arah. Tidak hanya setiap pikiran dan perasaan mempengaruhi mekanisme tubuh, tetapi juga setiap gerakan tubuh atau fisiologi kita juga mempengaruhi pikiran dan perasaan kita. Setiap otot yang berada dalam tubuh mempunyai hubungan yang langsung ke otak. Setiap gerakan juga berpengaruh pada system endokrin atau hormonal dalam tubuh yang bertanggung jawab terhadap perasaan kita.

Gerakan tersenyum misalnya, akan membuat kelenjar pineal dalam otak mengeluarkan hormon endorphin, yaitu zat sejenis morfin alami yang kekuatannya 200 kali dari morfin buatan. Endorfin ini membuat perasaan menjadi senang dan bahagia.

Sebuah survey dilakukan tentang senyuman, dan hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa anak-anak tersenyum dan tertawa rata-rata 300 kali dalam sehari. Sementara yang mengejutkan, rata-rata orang dewasa tertawa dan tersenyum hanya 15 kali dalam sehari. Penelitian ini mengungkap rahasia mengapa anak-anak lebih bahagia dan senang dibanding orang dewasa.
Sementara gerakan bersujud yang hampir dilakukan semua umat beragama atau kepercayaan dalam berdoa (atau dalam Yoga disebut child pose / pose anak), diteliti mampu membawa seseorang dalam keadaan relaks. Posisi ini juga membuat darah mengalir ke beberapa bagian dalam otak yang tidak dapat dijangkau dalam posisi gerakan lainnya. Hubungan tentang gerakan tubuh dan pikiran inilah yang juga menjelaskan mengapa setelah berolahraga pikiran akan merasa nyaman.

Kurang Gerak

Ada banyak sebab mengapa penduduk bumi ini semakin cepat terkena stress. Salah satunya adalah kurangnya gerak. Semakin lama dunia semakin memanjakan manusia. Teknologi seringkali membuat orang menjadi jarang menggunakan kemampuan ototnya untuk bekerja.
Lihatlah di pagi hari sewaktu kita mandi, dahulu orangtua kita menimba air di sumur, sekarang kita tinggal memutar keran dan air sudah mengucur dari lubang shower. Dahulu manusia pergi dari satu tempat ke tempat lain dengan berjalan atau bersepeda, sekarang sepeda motor dan mobil yang ada di garasi menggantikannya. Naik turun tangga digantikan oleh lift dan tangga berjalan. Bahkan banyak dari sahabat sulit untuk meulis dengan tangan karena mesin tik dan tombol-tombol HP telah menggantikannya.

Laju kehidupan bergerak lebih cepat, tetapi kita semakin jarang bergerak, sementara kalori yang kita lahap jauh dari yang kita butuhkan.

Tumpukan energy dari makanan yang kita konsumsi dan tak tersalurkan ini menjadikan sumbatan dalam keseimbangan tubuh kita, dan banyak gangguan fisik dan ketegangan batin sangat mungkin berawal dari ketidakseimbangan ini.

Ubah Gerak

Sekarang jika sudah mengetahui bahwa tubuh dan pikrian adalah satu kesatuan dan juga setiap gerakan mempengaruhi pikiran. Pertanyaannya, lebih mudah mana, mengubah perasaan atau mengubah gerakan? Pasti jawabannya adalah lebih mudah mengubah gerakan bukan? Ya, jadi ubahlah gerakan anda maka perasaan akan berubah.

Tulisan ini mungkin juga menjawab pertanyaan mengapa sahabat-sahabat yang rutin berlatih yoga, tai chi atau teknik gerakan lain mengalami hidup yang lebih damai dan nyaman. Anthony Robbins, pelatih sukses nomor satu dunia pernah berkata, “Our emotion is created by our motion.”

Emosi kita diciptakan oleh gerakan kita atau gerakan kita mempengaruhi emosi kita.
Berjalan kaki selama 30 menit selain menyehatkan juga akan membuat perasaan galau hilang. Untuk mengusir kecemasan atau kerisauan, coba paksa diri anda untuk tersenyum selama dua menit, dan rasakan hasilnya.

Awalnya mungkin ini akan terasa aneh, serasa tidak lazim. Namun jangan khawatir, semua hal yang pertama kita lakukan juga pasti terasa aneh. Pada awalnya paksakan diri anda, dan lama-lama ini akan menjadi kebiasaan yang bekerja di bawah sadar anda.

Hidup ini indah karena kita mempunyai kebebasan untuk memilih. Namun, setiap pilihan tidak selalu berujung pada sesuatu yang kita harapkan. Kadang kala, angin berembus terlalu kencang dalam pikiran kita membuat emosi bangun dan meluap. Kita bisa marah dan menyesal setelahnya atau kita bisa memilih untuk berjalan cepat selama 30 menit. Di kala kesedihan berkunjung, kita pun punya pilihan untuk duduk merunduk atau melihat ke atas dan tersenyum.

Semua adalah pilihan anda … have a wonderful life!

#gobindvashdev – happinessinside


Senin, 09 Maret 2015

Saatnya Belajar dari Wanita

Secara umum, manakah yang lebih rentan stres, pria atau wanita? Pertanyaan ini sering muncul dalam pelatihan stres management yang biasa saya lakukan. Sebuah pertanyaan singkat yang sederhana, bukan? Namun jawabannya, hmmm … tidaklah sesederhana itu.

Pada umumnya, wanita lebih gampang terkena stres, tetapi saya sangat menyarankan setiap pria untuk belajar menyikapi stres dari wanita. Lhoi kok? Ya, dan inilah sebenarnya rahasianya, pencipta kita sangatlah adil. Dia menciptakan kekuatan dan kelemahan dalam satu kesatuan. Kekuatan dan kelemahan yang sering kita pandang sebagai hal yang berlawanan sebenarnya saling melengkapi.
Di dalam setiap kekuatan tersimpan kelemahan, dan juga sebaliknya. Banyak yang memandang kecilnya seekor semut adalah kelemahan, tetapi karena kecil maka semut bisa masuk ke tempat yang tak terjangkau oleh binatang lain.

Begitu pula dengan wanita, banyak sekali yang melihat sebagai kaum yang lemah. Saya pribadi melihat dengan cara berbeda 180 derajat dari kebanyakan sahabat. Sejak kecil saya selalu mengagumi sosok wanita, saya melihat banyak kemampuan wanita yang harus saya pelajari dalam kehidupan ini.
Setelah beribu tahun pria menjadi panutan, wanita telah belajar banyak dari pria dalam berbagai bidang, bukankah sudah seharusnya pria juga harus belajar dari wanita? Saya percaya, jika pria belajar dari wanita bagaimana menghindari atau menyikapi kejadian pemicu stres yang datang, pria akan mendapatkan hidup yang lebih berkualitas. Tulisan ini dibuat bukan dimaksudkan membandingkan mana yang lebih baik. Namun, lebih untuk pemahaman yang lebih tinggi antara keduanya. Walau terkesan tulisan ini hanya untuk pria, sebenarnya wanita dapat mempelajari tentang dirinya lebih dalam dan lebih memahami mengapa dirinya berbeda dengan pria.

Fisiologi

Secara fisiologis, otak wanita lebih kecil daripada otak pria. Meski lebih kecil, otal wanita bekerja 7-8 kali lebih keras dibanding pria pada saat menghadapi sebuah masalah. Di samping itu, ada sebuah jembatan antara otak kanan dan otak kiri, jembatan ini disebut corpus callosum. Jembatan pada pria lebih tipis dan jarang, sedangkan pada wanita jembatan ini lebih tebal dan lebih banyak 30%. Jembatan yang lebih tebal ini memungkinkan wanita memandang sebuah persoalan lebih lebar dan menghubungkan satu hal dengan hal lainnya. Ini membuat sebuah permasalahan menjadi lebih kompleks.

Sementara itu, seringkali menurut para pria hal satu dan yang lainnya tidak berhubungan. Selain secara mental, dalam memandang sebuah persoalan, secara fisik pun hal yang sama terjadi. Ini pun berlaku pada lebar tidaknya pandangan mata antara pria dan wanita. Wanita memandang lebih lebar sedangkan pria lebih sempit. Oleh karena itu, jika seorang pria melihat wanita cantik lewat harus memutar lehernya, sementara wanita yang memandang pria ganteng cukup dengan melirik saja. J

Bukti lain dapat dilihat dalam sebuah survey kecelakaan para pengemudi pria dan wanita. Pada mobil atau kendaraan yang dikemudikan oleh pria, bagian yang sering kena benturan adalah kanan dan kiri, sementara wanita depan dan belakang. Ini sebabnya wanita agak sulit untuk memarkirkan mobilnya.
Selain secara struktur otak, yang menyebabkan wanita lebih mudah stres, ternyata seorang wanita, memiliki keinginan untuk tampil menjadi wanita sempurna. Menjadi ibu yang welas asih, istri yang menggairahkan, menjadi tetangga yang baik atau bos yang berwibawa. Menurut Simoner de Beauvoir, seorang pelopor feminisme modern, dalam bukunya Second Sex, keinginan itu bukan berasa dari luar melainkan dari dalam diri wanita. Inilah yang membuat wanita cenderung lebih stres.
John Gray Ph.D. yang mendunia dengan seri bukunya Men are from Mars and women are from Venus juga mengatakan wanita ingin selalu menyenangkan orang lain, mereka ingin selalu memberikan, tetapi tidak memberi diri sendiri dengan cukup. Semua ini membuat wanita sering kewalahan dan menderita stres yang tinggi. Belum lagi jika ditambah kondisi hormonal yang tidak seimbang sebelum menstruasi.

Dari fakta-fakta yang ada tersebut, dapat disimpulkan sementara bahwa wanita mengalami stres yang lebih besar daripada pria. Namun menariknya, 2/3 populasi yang mengkonsumsi alkohol adalah pria., 80% yang menggunakan narkotika dan obat terlarang adalah pria, 90% yang menghuni lembaga permasyarakatan atau penjara adalah pria. Lalu walau percobaan bunuh diri tiga kali lebih banyak dilakukan oleh wanita, tetapi empat dari lima orang yang melakukan bunuh diri adalah pria. Aneh bukan? Mengapa yang mengalami stres wanita dan yang melakukan tindak kriminal adalah pria? Mengapa yang depresi lebih banyak wanita dan yang bunuh diri lebih banyak pria?
Di bawah ini adalah tiga dari banyak perangkat lainnya yang dipergunakan oleh wanita dalam menghadapi stres. Sekarang saatnya belajar dari wanita.

Berbagi
Disinilah sebenarnya kaum adam dapat belajar banyak dari kaum Hawa. Pria sudah seharusnya mulai menghilangkan pola budaya turun-temurun, bahwa setiap masalah dapat “dibereskan” sendiri. Memendam dan memikirkan sendiri masalah sama seperti menyimpan bom yang sewaktu-waktu dapat meledak.
Setiap wanita secara alami senang mencurahkan kejadian sehari-hari dalam hidupnya, baik itu masalah atau kejadian yang menyenangkan. Inilah yang biasa disebut “curhat”. Wanita bericara tanpa mengharapkan solusi. Mereka berbicara untuk melepaskan apa yang dirasakan dalam dirinya, dan ini menjadikan wanita lebih ringan dalam menjalani hidupnya.
Dalam keadaan stres, wanita berbicara tanpa berpikir. Karena itulah 90% dari penghuni penjara adalah pria dan 90% yang datang ke psikolog adalah wanita. Menurut survey setiap hari wanita mengeluarkan sekitar 20.000 kata, sedangkan pria hanya 7.000 kata. Wanita suka sekali berbicara dengan sesama jenis, ini karena otak pria tidak didesain untuk mendengar. Namun kurangnya keterampilan mendengar bukannya tidak dapat diubah, keterampilan ini dapat dikuasai pria dengan latihan.

Menangis
Selain berbicara, wanita juga mengeluarkan emosinya dengan menangis. Namun, hal ini dipandang tabu oleh sebagian besar pria. Ada sebuah hukum yang tidak tertulis dalam budaya pria, bahwa pria tidak boleh menangis. Menangis adalah untuk wanita, untuk kaum yang lemah.
Bagi saya, menangis bukanlah hak kaum wanita saja, menangis adalah hal yang sangat manusiawi. Sama seperti tertawa, menangis adalah sebuah luapan emosi. Jika emosi sudah mencapai titik tertentu, air mata muncul untuk meredakan perasaan yang bergejolak itu.
Teringat saya dengan Viktor Frankl, seorang penemu logotherapy yang pernah dipenjara di kamp konsentrasi Auswitch. Seluruh keluarganya dibunuh kecuali saudara perempuannya. Dalam bukunya, Frankl berkata, “Ada banyak penderitaan yang harus kita jalani. Karenanya, kita perlu menghadapi seluruh penderitaan kita, dan berusaha menekan perasaan lemah dan takut. Akan tetapi kita juga tidak perlu malu untuk menangis, karena air mata merupakan saksi dari keberanian kita untuk menderita.”

Pelukan
Yang satu ini juga jarang dilakukan oleh pria, pelukan adalah obat termurah selain tertawa. Begitu banyak penelitian tentang pelukan dan semuanya membuktikn bahwa pelukan akan merangsang hormon oxytocin (sebuah hormon yang berhubungan dengan perasaan cinta dan kedamaian) keluar dan sekaligus menekan cortisol dan norepinephrine (hormon pemicu stres). Selain itu, oxytocin juga baik untuk jantung dan pikiran kita.

Di Kansas, Amerika Serikat, Dr. Harold Voth, seorang psikiater senior, telah melakukan riset dengan beberapa ratus orang. Hasilnya, mereka yang berpelukan mampu mengusir depresi, meningkatkan kekebalan tubuh, awet muda, tidur lebih nyenyak, dan lebih sehat. Kulit adalah organ tubuh yang terbesar, dan dibawahnya terdapat begitu banyak kelenjar-kelenjar yang aktif dan mengeluarkan hormon kekebalan jika disentuh.

Ada kecenderungan, semakin dewasa seseorang semakin jarang sentuhan melekat di tubuh ini. Seorang bayi selalu dalam pelukan, seorang anak kaya akan sentuhan orang-orang di sekitarnya, tetapi setelah dewasa sentuhan semakin jarang. Bahkan jabat tangan dan cium pipi belum tentu setiap saat dilakukan setiap bertemu teman. Seorang terapis keluarga yang sangat saya kagumi, Virginia Satir, mengatakan, “Untuk bertahan hidup, kita membutuhkan empat pelukan sehari. Untuk keseharan, kita butuh delapan pelukan per hari. Untuk pertumbuhan, awet muda, kebahagiaan, kita perlu 12 pelukan per hari.”

Saya sangat mengerti jika otak pria tidak didesain untuk berbagi, apalagi mendengar. Saya juga tahu jika hormon pria dan wanita sangat berbeda sehingga menyebabkan pria susah untuk berekspresi berlebihan seperti menangis. Saya juga menyadari jika kulit pria tidak terlalu peka dibandingkan kulit wanita. Namun, semua bukanlah harga mati yang tidak dapat diubah, kita dapat pelajari apa yang terbaik dari wanita. Saya yakin, kita dapat merasakan perubahan setelah kita sadar dan mempraktekannya.

Akhir kata, selamat berbagi, menangis, dan berpelukan

#gobindvashdev – happinessinside



Minggu, 08 Maret 2015

Apa untungnya cemas

Suara pramugari terdengar lewat speaker, memberitahukan bahwa pesawat akan kembali ke Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Sebagian besar penumpang sudah terlelap, mengingat waktu sudah mendekati pergantian hari. Kebiasaan membaca buku dalam pesawat membuat saya dan sebagian kecil yang masih terjaga terhubung dengan kecemasan setelah mendengar alasan kembalinya pesawat yang seharusnya sudah terbang ke Bali ini disebabkan masalah teknis. Saling bertatapan beberapa kali terjadi dengan  mata-mata yang terlihat tegang, dan bibir yang terkatup rapat, sementara yang lainnya tertidur. Pada saat itu mereka yang terjaga semua panca inderanya menjadi awas layaknya polisi yang bertugas dalam keadaan siaga satu. Sedikit guncangan pesawat atau suara mesin yang menderu lebih kencang saat ini akan memercikkan kecemasan. Bukit kecemasan makin tinggi menjelang pesawat mendarat, tidak ada yang dapat dimintai keterangan apakah pesawat mendarat dengan biasa atau darurat. Dan nyeess layaknya es yang mencair, begitu pula perasaan cemas meleleh habis ketika pendaratan berlangsung mulus. Doa syukur diucapkan oleh mereka yang terjaga, yang tertidur tetap tenang dalam mimpinya. ”Seandainya saya tidur”, pikir saya, atau saya menggunakan iPod yang memaksa telinga ini tidak mendengar suara pramugari tadi maka ketakutan tidak bakalan menghampiri saya.

Kecemasan muncul karena kita membayangkan hal-hal yang menakutkan akan terjadi. Ini bukanlah sesuatu yang haram, tetapi jika mau menghitung, sebagian besar atau hampir semua kecemasan kita tidak terjadi. Semua itu buatan kita sendiri dan sering kali tidak beralasan kuat.

Contohnya cerita diatas, yang saya cemaskan adalah pesawat akan mendarat darurat. Namun, setelah ketenangan mengambil alih pikiran, yang saya cemaskan itu hampir tidak mungkin terjadi. Karena jika pesawat akan mendarat darurat, pastilah pilot akan memberi tahu semua penumpang untuk bersiap siaga. Namun, pada saat itu kecemasan sedang membuntal pikiran dengan rapat sehingga pikiran hanya menatap pada bayangan terburuk yang akan terjadi.

Jika apa yang kita cemaskan itu terjadi lalu bagaimana? Jawabannya, memang kecemasan tersebut dapat membantu kita mengatasi kejadian yang akan terjadi? Yang ada malah membuat kita lebih panik bukan? Shakespeare sang penulis Romeo and Juliet pernah menulis, “Ketakutan akan kemalangan yang akan terjadi dapat menjadikan kita lebih sengsara daripada saat tibanya kemalangan itu, yang mungkin terjadi atau tidak.”

Ketika kecemasan muncul ada banyak hal yang terpengaruh, bukan hanya pikiran, tetapi seluruh organ di tubuh. Para ahli menemukan bahwa kecemasan berlebihan memaksa kelenjar-kelenjar memproduksi beberapa hormon yang berakibat kurang baik pada pikiran dan juga pada hampir seluruh organ tubuh.

Masih segar dalam ingatan saya betapa cemasnya diri saya sewaktu terjebak kemacetan yang luar biasa pada perjalanan menuju satu bandara di Jakarta. Saat itu saya duduk di bangku belakang taksi dan menarik napas panjang berkali-kali. Gigi dan rahang mengatup erat, detak jantung terasa lebih keras dan cepat, tubuh yang bergerak kesana kemari terpacu kegelisahan yang meninggi dalam benak. Tiba-tiba saya tersadar dengan apa yang terjadi pada diri ini, kemudian saya bertanya kepada diri sendiri, “Apakah dengan menjadi cemas, jalanan yang saya lalui akan menjadi lancar?” Anda pasti tahu jawabannya. “Kemudian jika begitu kenapa harus cemas?” Saya terus bertanya dalam diri, dan ada jawaban dari dalam, “Ya kan nanti jika terlambat, kan rugi, tiket sudah terbeli.” Kemudian bagian diri saya yang lain menjawab, “Lalu jika cemas memang tiketnya dapat diuangkan?” Dan seterusnya. Bagian diri saya yang cemas memberikan alasan, dan bagian kesadaran yang lain memberikan jawaban yang berlawanan.

Sebuah ayat di Kitab Matius mengungkapkan hal yang sama, dimana Yesus bersabda, “Siapakah diantara kamu yang karena kekhawatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?”

Menciptakan Kecemasan

Salah satu yang menyabot kebahagiaan kita adalah kekhawatiran yang kita ciptakan sendiri. Seorang sahabat saya bertanya, “Bagaimana tidak khawatir jika semuanya serba belum pasti?”

Dari awal sampai berakhirnya penciptaan alam ini, ketidakpastian adalah sebuah kepastian, tetapi kekhawatiran kita adalah sebuah pilihan, bukan? Kita sudah terbiasa memilihnya sehingga kekhawatiran ini sering tumbuh dan menjadikan seolah-olah kita tidak mempunyai pilihan lain. Setiap hari kita mengkhawatirkan hari esok. Lalu persis hari ini, hari ini adalah hari esok yang kita khawatirkan kemarin, bukan? Selain percaya penuh bahwa alam memberikan yang terbaik serta berserah total pada Pencipta, alangkah indahnya jika kita bisa mengajak puasa akar perilaku yang menyebabkan kita mempunyai kebiasaan cemas dan khawatir.

Salah satunya adalah kemampuan mengarahkan indra kita. Dalam kepungan media yang sedahsyat saat ini, kemampuan ini menjadi sebuah senjata yang wajib kita miliki. Informasi yang lalu lalang, liar tak terkendali membuat kita mudah sekali untuk menonton, mendengar, serta membicarakan sesuatu yang awalnya terasa menyenangkan, tetapi akhirnya memberikan rasa khawatir pada diri sendiri. Berita yang kita terima, baik dari seorang sahabat atau media, belum tentu benar. Namun, itu cenderung kita percayai, apalagi yang sudah menjadi gunjinganan publik.

Beberapa tahun lalu, saya mengikuti sebuah reality show di salah satu televisi swasta, 15 orang yang berkarakter berbeda ditempatkan dalam sebuah rumah yang tidak dihiasi TV, radio, buku, jam, atau hiburan apapun. Kami pun tidak boleh berkomunikasi dengan dunia luar. Di rumah itu, ditempatkan sejumlah kamera yang memantau kami selama 24 jam. Dan setiap hari kegiatan kami disiarkan di TV selama satu jam. Setelah terekstradisi dari rumah petir (Penghuni Terakhir), saya mencoba menjelajahi forum-forum di dunia maya, yang membicarakan atau menggosipkan tentang kami. Hasilnya sangatlah mengejutkan, sebagian besar opini yang terbentuk ternyata tidak sesuai dengan apa yang saya ketahui di dalam rumah tersebut. Mereka saling berdebat, membela satu diantara kami, atau yakin dengan pemikirannya. Ketika membacanya saya tersenyum dan diwaktu yang sama saya mendapat banyak pelajaran. Pelajaran bahwa apa yang kita pikirkan terhadap situasi yang terjadi di luar, seringkali tidak tepat. Ini mirip halnya dengan begitu banyak sahabat yang memperbincangkan politik atau menebak-nebak apa yang terjadi di balik perceraian selebriti. Dalam beberapa kesempatan, saya berjumpa dengan sahabat-sahabat lama yang sudah menjadi public figure dan sempat diterpa gossip. Setelah berbincang cukup lama, saya berkesimpulan bahwa yang dipersepsikan publik berbeda jauh dari kenyataan.

Berusaha untuk tidak menggunjingkan hal-hal di luar yang kita tidak tahu tentang orang lain adalah perbuatan bijak. Membicarakan tentang perceraian membuat ketakutan menikah menjadi besar. mendengar banyak pertikaian politik menjadikan kita memihak yang satu dan membenci yang lainnya. Berita bunuh diri memberi alternatif bunuh diri bagi pikiran bawah sadar jika terimpit jalan buntu. Belum lagi seringnya berita kriminalitas, kecelakaan atau tragedi yang bertebaran, semua membawa ketakutan. Pada akhirnya, ketakutan yang bertumpuk akan menjatuhkan kita ke jurang kekhawatiran dan kecemasan.

Lho, bukannya berita seperti pembunuhan, pencurian, atau kecelakaan pesawat, apalagi bencana alam, adalah sesuatu yang benar dan mengetahuinya akan membuat kita lebih berhati-hati? Mungkin pikiran ini tanpa permisi akan muncul ketika membaca paragraph di atas. Ya, mungkin sekali berita-berita itu benar dan sikap hati-hati adalah baik, tetapi cobalah sadari apa yang kebanyakan terjadi setelah kita mengetahuinya? Kita mulai penasaran dan mulai mencari tahu lebih dalam lagi dan lagi, sampai-sampai kita mendiskusikan, menganalisis atau bahkan memperdebatkannya dengan orang lain. Dan hasilnya adalah kekhawatiran yang berlebih. Ambilah contoh kecelakaan pesawat yang terjadi secara beruntun dalam beberapa waktu terakhir ini. Berita-berita ini menelurkan ketakutan untuk bepergian dengan pesawat, walaupun secara statistic kasus kecelakaan pesawat jauh lebih kecil dibanding dengan moda transportasi apa pun. Tengoklah berita ekonomi, banyak pengamat yang meramalkan akan terjadi badai krisis pada 2009, bayangan buruk hadir di setiap kepala manusia. Akan tetapi lihatlah, bukankah kenyataannya tidak seburuk yang dibayangkan? Sama halnya dengan politik, atau berita ramalan yang terlalu blow up, seperti sesuai tanggalan Maya, dunia akan berakhir pada bulan Oktober 2012. Untuk membuktikannya, Cobalah sekali-kali menghitung persentase dari ramalan-ramalan yang beredar. Anda akan terkejut melihat hasilnya.

Mengetahui munculnya banyak kerugian dari kecemasan adalah sebuah awal yang baik. Membiarkan diri untuk tidak berhubungan terlalu intim dengan sumber-sumber kekhawatiran adalah langkah lanjutan yang tepat. Di atas semua itu, diperlukan adanya keyakinan, sebuah keyakinan penuh bahwa semua yang terjadi di bumi yang kecil ini adalah yang terbaik. Kecemasan hanya menandakan ketidakpercayaan pada Pencipta dan kekuasaan-Nya.

Sewaktu menulis artikel ini, alam sedang ingin bermain dengan saya. Semua data yang termuat di laptop semata wayang saya terhapus. Seorang sahabat yang mengetahuinya berkata, “jangan khawatir, walau kita belum tahu, pasti ada maksud baik di balik musibah ini.” Lalu dia menutup kalimatnya dengan mengutip sebuah lirik lagu, “segala sesuatu itu indah pada waktunya”. Dengan tersenyum dalam hati saya menjawab, “Segala waktu itu indah pada sesuatu-Nya.”


#gobindvashdev – happiness inside

Sabtu, 07 Maret 2015

Bunuh Diri Ternyata Menular

Sudah lama saya mengamati sekaligus bertanya-tanya tentang fenomena “menular” yang terjadi di sekitar kita. Mungkin kata “menular” identik dengan penyakit. Hal yang akan kita bahas kali ini bukan penyakit, tetapi lebih ke kejadian-kejadian yang kita lihat, dengar, atau baca. Jika kita perhatikan akhir-akhir ini, terjadinya suatu kecelakaan pesawat tidak lama disusul lagi dengan kecelakaan pesawat lainnya. Sebuah pesawat swasta nasional mengalami kecelakaan di Solo beberapa tahun lalu, kurang dari 2 x 24 jam, tiga kecelakaan pesawat terjadi lagi di negeri ini. Anda mungkin masih ingat beberapa bulan yang lalu, kecelakaan kereta api juga terjadi dalam waktu yang berdekatan.

Menariknya, kejadian yang berurutan ini tidak sekedar berlaku pada kecelakaan. Pengambilan keputusan tentang hal-hal yang sangat personal seperti pernikahan dan perceraian juga mempunyai efek yang menular. Pernikahan para selebritas dengan orang asing beberapa waktu lalu dan maraknya perceraian akhir-akhir ini mungkin menjadi contoh yang baik untuk itu. Fenomena kesurupan di Indonesia pun terjadi secara menular pada anak-anak sekolah dasar. Dan yang sangat menyesakkan adalah fenomena bunuh diri pada remaja atau anak-anak akhir-akhir ini.

Mungkinkah ini semua menular? Apa ini rasional? Apa yang menyebabkan ini semua? Mengapa ini semua dapat terjadi? Bukankah selama ini hanya penyakit fisik yang dapat menular?
Pada awalnya, hal-hal di atas saya anggap sebagai peristiwa kebetulan semata. Namun setelah kejadian demi kejadian berulang, pastilah ini bukan kebetulan semata.

Dalam pencarian jawaban, saya bertemu dengan pemikir cerdas, Malcolm Gladwell, lewat bukunya, Tipping Point. Malcolm mengambil contoh dari penelitian yang dilakukan di Kepulauan Mikronesia, Kepulauan di Laut Pasifik, mengenai bunuh diri pada anak-anak atau remaja usia 15-20 tahun.
Sebelum 1960, belum pernah ada kejadian bunuh diri yang dilakukan oleh remaja di Negara tersebut. Namun setelah peristiwa bunuh diri pertama terjadi dan di beritakan di media massa setempat, angka bunuh diri pada remaja langsung meroket. Sebagai perbandingan, angka bunuh diri di Amerika Serikat hingga akhir ’80-an adalah 22 dari 100.000 penduduk, sedangkan di Mikronesia angka bunuh diri sebesar 160 jiwa dari 100.000 penduduk. Ini berarti tujuh kali lipat, sebuah angka yang luar biasa tinggi.

Menariknya, mereka melakukan bunuh diri dengan cara yang hampir serupa. Para remaja di Mikronesia ini selalu mencari tempat yang sepi lalu mengambil tali dan membuat simpul jerat, tetapi mereka tidak menggantung diri seperti umumnya di Indonesia. Mereka mengikatkan tambang ke sebuah dahan rendah atau daun pintu kemudian merebahkan tubuh ke depan sampai tambang itu menjerat leher dengan ketat dan memutus aliran darah ke otak.

Yang lebih menyedihkan dari epidemik atau kejadian menular, menurut antropolog Donald Rubinstain, yaitu semakin banyaknya yang melakukan bunuh diri. Sebelumnya hanya remaja tetapi berkembang menjadi anak-anak berusia 8-9 tahun, bahkan akhir-akhir ini ditemukan mereka yang berusia 5-6 tahun. Ini sangat memprihatinkan, apalagi sejumlah anak-anak yang selamat dari percobaan bunuh diri, ketika  ditanyai, beralasan hanya coba-coba. Mereka melakukannya karena melihat atau sering mendengar anak-anak yang melakukan bunuh diri.

Peranan Media

Seorang pelopor dalam bidang penelitian bunuh diri, David Philips, dari University of California di San Diego telah melakukan penelitian dengan mengkiliping berita bunuh diri yang dimuat di media massa. Profesor tersebut menemukan bahwa ada korelasi positif antara pemberitaan media massa tentang bunuh diri dengan tingkat bunuh diri di daerah penyebaran media massa tersebut. Semakin besar jangkauan atau wilayah peredarannya maka wilayah orang yang bunuh diri pun semakin luas. Misalnya pada saat Marilyn Monroe memilih untuk bunuh diri, pada bulan tersebut angka bunuh diri di Amerika Serikat meningkat sampai 12%.

Jika seseorang melakukan bunuh diri dengan menabrakkan mobilnya ke pohon, dan diberitakan di headline media massa suatu daerah, dalam sepuluh hari ke depan angka kecelakaan meningkat tajam dengan kasus serupa. Angka kecelakaan menurun menjadi normal setelah sepuluh hari. Berita di media seolah-olah memberikan sebuah inspirasi pada pembacanya. Inspirasi cara untuk menyelesaikan masalah, memberikan sebuah pembenaran bahwa suatu cara boleh ditempuh.

Menurut Philips, cerita tentang bunuh diri adalah semacam iklan alami tentang salah satu cara memecahkan masalah. Selain media massa, lingkungan sekitar kita juga sangat mempengaruhi pengambilan keputusan kita. Misalnya, kita menerobos lampu merah karena melihat yang lain melakukan hal yang sama. Atau yang menarik lagi misalnya, jika anda berada di antrean lampu merah dan mobil anda di urutan ke empat atau kelima, lalu muncul seorang pengemis atau pengamen dan mendekati mobil yang ada diurutan pertama. Jika pengemudi tersebut memberi sejumlah uang recehan kepada pengemis tersebut, kemungkinan besar pengemudi yang diurutan kedua juga akan melakukan hal serupa.

Pengemis ini akan mendapat kemungkinan yang lebih besar lagi di mobil urutan ketiga dan seterusnya. Saya tidak tahu apa ini namanya. Namun, jika saya melihat hal itu terjadi di depan saya, saya atau paling tidak teman yang duduk di sebelah saya juga akan ikut-ikutan. Kita semua seolah-olah mendapat izin untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orang lain.
Efek penularan ini bukan sesuatu yang rasional atau terjadi secara sadar. Penyebarannya tidak bersifat persuasive, tetapi lebih samar daripada itu.

Kembali ke maraknya bunuh diri anak yang terkadi di sekitar kita sekarang ini, kita tahu bahwa ada banyak sekali faktor yang mempengaruhi seorang anak untuk melakukan tindakan nekat tersebut. Untuk itu, mungkin tips di bawah ini dapat dilakukan untuk menghindari bunuh diri terjadi pada buah hati kita.

  1. Saringlah Informasi yang Masuk
Menghindarkan anak dari tontonan berita-berita kriminal yang marak di televisi adalah langkah yang baik agar anak berpandangan baik tentang dunia ini. Selain itu menghindari berlangganan majalah, tabloid, atau Koran yang memuat banyak berita-berita gosip atau kekerasan adalah tindakan bijak lainnya.

  1. Pilih Mainan yang Digunakan
Temani dan arahkan anak anda untuk memilih permainan yang digemari. Akan baik sekali jika permainan yang anda beli untuk si kecil adalah permainan yang mengasah kemampuan sensorik dan motoriknya.
Jika membeli DVD untuk  video game, hindarkan dari permainan yang mengandung unsur kekerasan.

  1. Belajarlah Mendengar
Banyak masalah anak yang berasal dari kurangnya komunikasi dari orang tua kepada buah hatinya. Komunikasi merupakan kemampuan yang paling penting dalam dunia ini. Kita menghabiskan sebagian hidup kita untuk belajar membaca dan menulis. Kita juga menghabiskan waktu untuk belajar berbicara yang baik, tetapi bagaimana dengan mendengarkan?

Jika kita ingin berinteraksi secara efektif dan mengerti kebutuhan anak secara utuh, kita perlu mengerti apa yang diinginkan si anak secara detail dan mendalam. Untuk ini, kita harus mendengarkan secara empati, melihat dengan kacamata si kecil.
Kebanyakan dari kita merasa lebih pintar dan lebih tahu apa yang dibutuhkan anak sehingga kita jarang mau mendengar mereka secara mendalam. Kita sering sekali memotong perkataan mereka dan memberikan contoh masa lalu kita.

Coba kita tengok sebentar, ketika seorang anak ingin meminta pengertian dari ayahnya mengenai keengganannya untuk melanjutkan sekolah, hampir semua ayah tak mencoba memahami alasannya. Alih-alih sang ayah langsung menimpali dengan menceritakan bahwa dirinya bisa sukses karena dia dulu rajin sekolah.

Ketidakpuasan anak karena tidak dimengeri akan membuat anak menjadi pasif dalam berkomunikasi dengan orang tua. Anak akan menjawab seperlunya dan ini akan menjadi cikal bakal tindakan-tindakan nekat sang anak, terutama pada anak laki-laki.

Statistik menunjukkan bahwa empat dari lima orang yang bunuh diri adalah pria. Hal ini disebabkan pria lebih sedikit berbagi, tidak boleh menangis, dan lebih jarang berpelukan. Padahal curhat atau berbagi, berpelukan atau menangis adalah pelepasan emosi bawah sadar yang sangat baik.

Akankah kita segera belajar untuk mendengar atau membiarkan segala sesuatunya terlambat?

#gobindvashdev – happiness inside

Kamis, 05 Maret 2015

Pria dan Wanita, Berbedakah?

Ada sebuah cita-cita yang masih terpendam dalah hati saya sejak remaja, yaitu menjadi konsultan hubungan atau relationship antara pria dan wanita. Mungkin ini terjadi karena sejak beranjak remaja banyak dari sahabat maupun saudara saya yang berkeluh kesah tentang hubungan dengan pasangannya kepada saya.

Ditambah lagi begitu banyak perceraian dan pertengkaran plus perlakuan kekerasan. Sedih sekali melihat fenomena ini banyak terjadi di sekitar kita. Apapun alasannya, anak selalu menjadi korban. Ada kecenderungan bahwa semakin lama, angka perceraian semakin meningkat, apalagi di kota-kota besar atau Negara maju. Amerika serikat contohnya, sekitar 60% dari pernikahan berakhir. Suatu angka yang mengejutkan sekaligus mengerikan, ketika lebih dari separuh jumlah anak di Negara super power itu harus dibersarkan oleh orangtua tunggal atau orangtua tiri.

Dapat dibayangkan jika kita tinggal di tempat yang setengah pendudukanya saling membenci atau paling tidak pernah berselisih, jika bagi dunia kehadiran PBB (United Nation) dirasa penting, menurut saya jauh lebih penting adalah adanya United Relation, lembaga dunia yang mengurusi tentang hubungan. Jika di dunia ini banyak konsultan keuangan, pajak, SDM, pemasaran, kenapa konsultan hubungan jarang terdengar?

Kenyataan ini membuat saya semakin tertarik untuk banyak belajar mengenai hubungan antar mansia.

Salah satu dari guru-guru “Hubungan” saya adalah John Gray Ph.D. lewat seri bukunya yang sangat terkenal, men are from Mars and women are from Venus, John Gray tidak hanya mengupas banyak hal tentang perbedaan pria dan wanita, tetapi juga bagaimana seseorang sebaiknya bereaksi terhadap pasangannya.

Bagi saya pribadi, manusia adalah sebuah topik yang selalu menarik dan tidak ada habisnya jika dibicarakan, baik sisi persamaan maupun perbedaannya. Semua tahu jika pria dan wanita berbeda secara fisik, tetapi tahukah kita jika perbedaan fisik yang mencolok ini belumlah apa-apa dibandingkan perbedaan yang ada di dalam. Pria dan wanita sangatlah berbeda dalam hal berpikir, merasakan, memahami, bereaksi dan mencintai. Mereka seolah-olah dari planet yang berbeda.
Sekarang coba ingat-ingat, pernahkan anda mendengar seorang pria mengeluh tentang wanita seperti ini, “Saya tidak habis pikir, bagaimana dia dapat berpikir seperti itu? Itu kan nggak ada hubungannya?”

Atau seorang wanita mengeluh, “Kenapa ya dia kok nggak bisa ngertiin saya sedikit saja?”
Pastinya keluhan semacam ini sering kita dengar kan?

Pada suatu saat yang hanya dipisahkan jam, saya pernah bertemu dengan sepasang kekasih di tempat yang berbeda, sang wanita berkata, “saya selalu perhatian sama dia, tetapi kok dia tidak pernah perhatian sama saya.”

Sementara beberapa saat kemudian di tempat berbeda sang pria juga berkata, ”Saya sudah mengorbankan waktu saya, tetapi kelihatannya dia tidak bahagia.”

Dapatkah anda lihat, kedua pasangan ini saling memberi, tetapi seolah-olah keduanya tidak menerima apa-apa. Mengapa ini terjadi? Jawabnannya karena kebutuhan mereka berbeda. Pria haus dan wanita lapar, pria ingin minum tetapi yang ditawarkan adalah makanan, dan juga sebaliknya.
Menurut survey, hal yang paling dikeluhkan wanita terhadap pria adalah pria tidak mendengarkan wanita dengan baik, ini dapat dipahami karena dalam mendengar otak pria tidak sebaik wanita. Sementara hal yang paling tidak disukai pria terhadap pasangannya adalah bahwa wanita mencoba untuk tidak menasihati pria jika tidak diminta.

Otak pria terkotak-kotak dan mampu memilah-milah informasi yang masuk. Di malam hari, setelah seharian penuh aktivitas pria dapat menyimpan semuanya di otaknya. Sementara otak wanita tidak bekerja seperti itu, informasi atau masalah yang diterimanya akan terus berputar-putar dalam otaknya. Dan ini tidak akan berhenti sampai dia dapat mencurahkan isi otaknya, alias curhat.

Oleh sebab itu, secara umum jika wanita bicara tujuannya adalah untuk mengeluarkan unek-uneknya, bukan untuk mencari solusi. Namun, apa yang terjadi? Pria langsung memberikan solusi saat mendengar keluh kesah pasangannya. Padahal seringkali bukan itu yang diharapkan. Wanita hanya mengharapkan pasangannya mendengar isi hatinya, begitu semua yang ada di hati keluar, wanita merasa lega dan dapat mencintai dengan lebih dalam.

Rata-rata wanita dapat bicara 20.000 kata dalam sehari. Sementara pria hanya sekitar 7.000 kata sehari. Perbedaan ini kelihatan jelas ketika jam makan malam tiba. Pria sudah menghabiskan 7.000 katanya dan tidak mood lagi untuk bicara lebih lanjut. Persediaan wanita tergantung dari apa yang sudah dia lakukan sepanjang hari. Jika dia sudah banyak berbicara dengan orang lain hari itu, dia pun akan sedikit berbicara. Jika dia tinggal di rumah saja, mungkin dia sudah menggunakan sekitar 3.000 kata. Masih ada 17.000 kata lagi!

Berbeda dengan wanita, pria jika mempunyai masalah, dia cenderung untuk diam, membaca surat kabar, nonton TV, atau bermain bola. Otaknya akan terus berpikir untuk solusinya. Namun, keadaan seperti ini oleh wanita diartikan  sebagai tindakan yang mengabaikan dirinya. Wanita mulai tersinggung kala pria mengalihkan perhatian pada berita-berita atau bermain basket di luar.

Pada saat seperti itu, wanita mulai mendesak pria untuk berbicara mengenai masalahnya. Wanita mengharapkan pria dapat berbagi seperti wanita untuk melegakan perasaannya. Namun ini tidak akan terjadi, jika masalah seorang pria terlalu besar, pria akan mencari seseorang yang dianggap cakap untuk membantu menyelesaikannya. Sementara wanita merasa senang jika membicarakan detail-detail kesulitannya saja.

Pada pria, sebuah persoalan harus diselesaikan, tetapi bagi wanita persoalan harus di sharing, tanpa harus selalu ada penyelesaiannya. Fenomena yang terjadi di sekitar kita: Jika seorang pria mendengar keluhan dari wanita, pria secara insting akan menyela dan memberikan solusi. Padahal hal ini tidak diperlukan oleh pasangannya, yang diperlukan adalah telinga untuk mendengar dan sebuah pelukan yang hangat untuk menetramkan.

Begitu juga dengan wanita, jika pasangannya mempunyai persoalan, wanita cenderung mendesak sambil bertanya kenapa sang pria sangat diam dan dia tidak mau berbagi. Akan baik sekali jika wanita menahan pertanyaan-pertanyaannya hingga pria berbicara sendiri. Menanyai seorang pria yang mempunyai persoalan, apalagi memberi nasihat, akan membuat pria semakin tidak nyaman dan lebih tertutup.

Apa yang tertulis di atas adalah secuil perbedaan antara pria dan wanita. Jika kita mau dan belajar memahami perbedaan-perbedaan ini lebih luas, kita akan sangat mungkin menguraikan banyak kekecewaan dalam bergaul. Kesalahpahaman dapat lenyap dengan cepat atau dapat dicegah. Harapan-harapan yang keliru dengan mudah dapat dikoreksi. Jika kita ingat bahwa pasangan kita berbeda bagaikan berasal dari planet lain, kita dapat santai bekerja sama dengan perbedaan-perbedaan itu, bukannya melawan atau mengubahnya. Mengetahui perbedaan kebutuhan kita dengan pasangan dan sanggup menerima perbedaan-perbedaan tersebut adalah cara untuk mengembangkan cinta.

Sebelum bagian ini berakhir, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri, manakah yang lebih penting antara bisnis, karier, uang, dan keluarga? Jika jawaban anda adalah keluarga, mungkin tulisan di bawah ini adalah sesuatu yang perlu direnungkan.

Setelah kita belajar banyak tentang bagiamana memulai bisnis, bagaimana meningkatkan karier, dan bagaimana mengembangkan uang, sudah cukupkah kita belajar tentang pasangan kita, sudahkah kita belajar mengatasi tantangan yang akan timbul dalam rumah tangga?

Sewaktu bisnis kita akan jatuh, apa yang akan kita lakukan? Kita akan mati-matian mengupayakan untuk dapat bangkit, kita menginvestasikan waktu lebih lama di kantor, tenaga dan pikiran juga kita curahkan sepenuhnya. Tidak jarang kita membayar konsultan untuk memberi ilmu yang akan membantu bisnis agar terselamatkan.

Namun apakah kita akan berbuat hal yang sama jika itu terjadi di dalam kerluarga? Jika hubungan mulai retak, apakah kita akan lebih lama tinggal di rumah atau merencanakan bulan madu yang kedua? Akankah kita mencurahkan tenaga dan pikiran lebih banyak pada hubungan kita? Akankah kita memanggil seseorang dan belajar kepadanya apa yang harus dilakukan?

Hmmm, something to think about?


#gobindvashdev – happinessinside

Selasa, 03 Maret 2015

Sabar tidak harus menunggu tua

Sabar ya, Ver … sabar … kita harus sabar dalam menghadapi cobaan hidup ini ….” Arif mencoba menenangkan Vera teman kuliahnya.
“Gimana mau sabar, Rif, kamu kan tahu? Si Novi itu sahabatku yang paling dekat, kok tega-teganya dia ngatain aku seperti itu, huuh… keterlaluan.”
“Aku tahu, Ver ini memang keterlaluan,” sahut Arif. “Namun, kita harus bisa menerima dan sabar dalam menghadapinya.”
“Sabar, sabar … dari tadi kamu bilang sabar dan sabar … tapi bagaimana caranya … ?

Barangkali kita pernah mendengar hal serupa. Setiap kali ada teman atau saudara kita yang sedang marah atau sedih, yang dapat kita lakukan adalah menasehatinya dengan kata “sabar”. Namun, jarang sekali ada orang memberi tahu bagaimana caranya untuk bersabar. Kebanyakan dari kita hanya berhenti di sini, jika ditanya, “Sabar itu bagaimana?” jawabannya, “Ya harus dapat menerima,” titik sampai di sini.

Banyak sekali di sekitar kita percaya bahwa sabar adalah sifat yang dibawa sejak lahir. Sebagian lagi percaya jika orang bisa sabar jika usianya sudah mulai tua. Salah seorang teman saya berkata, “Sabar bisa didapat jika seseorang sudah banyak mendapat cobaan hidup yang berat.”
Tidak ada yang salah jika ada orang berpendapat seperti itu. Namun, saya juga percaya jika kita bisa belajar dari orang-orang yang terbukti sabar. Lalu jika kita gunakan ilmu yang sama, pasti kita akan menjadi orang yang sabar juga sehingga kita tidak harus menunggu tua atau mengalami ujian yang berat untuk dapat sabar. Bukankah begitu?
Dalam perjalanan panjang melalui perenungan dan belajar dari guru-guru dunia, baik secara langsung atau melalui karyanya, secara singkat dapat saya simpulkan, bahwa mereka yang sabar dan yang tidak sabar hanya dibedakan oleh satu hal, yaitu program atau kata-kata yang tertanam di dalam otaknya.

Mungkin contoh di bawah ini akan membuat lebih jelas.

Amir mempunyai program kata-kata di dalam dirinya, “Jika orangtua saya dihina maka orang yang menghina itu akan saya peringatkan. Jika setelah itu masih menghina maka saya akan menghajarnya.”
Bandingkan dengan Budi yang mempunyai program sebagai berikut, “Jika ada yang menghina ibu saya, saya akan peringatkan. Jika masih membandel maka saya akan anggap dia orang gila.”
Bayangkan jika ada yang menghina orangtua Amir, apa yang terjadi? Bertengkar atau bahkan bisa bunuh-bunuhan. Bandingkan jika hal yang sama terjadi pada Budi, Budi dengan tenangnya akan melenggang dan menganggap bahwa yang menghina ibunya hanyalah orang gila.
Amir bisa berurusan panjang dengan polisi dan penjara pun menantinya. Belum lagi dendam yang akan dibawa dalam hatinya. Sedangkan Budi sudah sampai di rumah dan sudah lupa akan peristiwa tadi.

Teman, sedikit perbedaan dalam program di kepala kita ini dapat membuat perbedaan tindakan yang sangat signifikan, yang mungkin sekali berpengaruh dalam hidup ini. Bahkan nasib kita pun dapat ditentukan dari sini.

Jika kita pikir kembali, sering kali kita tidak tahu dari mana program atau kata-kata ini ada dalam benak kita, tahu-tahu itu sudah ada di dalam otak kita.

Tak dapat dipungkiri, faktor-faktor eksternal sangat mempengaruhi program-program tersebut. Tanpa kita sadari, semakin lama ini menjadi sangat kuat mendekam dalam bawah sadar kita, dan lama-kelamaan menjadi keyakinan yang sangat kuat.

Mungkin sekali keyakinan ini muncul karena pengalaman orang lain yang kita dengar atau kita lihat. Atau dapat juga nilai-nilai dalam masyarakat sekitar kita. Bila kita tinggal di Solo, mungkin saja akan sangat berbeda dengan bila kita dibesarkan di Madura.

Misalnya, suatu hari si Iwan berada di halte bus dan tiba-tiba seseorang lewat dan meludah persis di depan kaki Iwan, apa reaksi Iwan? Mungkin sekali Iwan akan marah. Namun, jika kejadian ini terjadi di sebuah Negara di Afrika, tempat jika dua orang bertemu mereka akan saling meludah, akan berbeda artinya.
Ludah adalah ludah, tidak mempunyai arti apa-apa, program di kepala kitalah yang memberi arti dan yang mengakibatkan kita bereaksi atau bertindak.
Orang yang dikatakan tidak sabar mempunyai kata-kata di dalam dirinya, jika ada orang meludah di depan saya, itu artinya sama dengan menghina saya. Sedangkan orang yang sabar pasti punya program dan arti yang lain.

Lalu bagaimana caranya jadi orang sabar? Ganti saja programnya !!

Apa mungkin? Sangat mungkin, kenapa tidak? Jika kemarin kita memasukkan prigram secara tidak sadar, kini setelah kita tahu, kita dapat memasukannya dengan sadar. Setiap manusia mempunyai kemampuan ini, tanpa terkecuali! Sebuah kemampuan secara intelektual yang tidak dipunyai makhluk lain. Memang tidak akan secepat membalik telapak tangan, hal ini perlu latihan juga sama seperti otot yang menguat karena dilatih, otak kita pun perlu dilatih untuk menjadi kuat.

Mulailah dari hal-hal kecil

Sama seperti jika kita ke gym atau fitness center, beban yang kita angkat tidak mungkin langsung yang berat, tetapi yang ringan-ringan dulu. Jika kita harus bersepeda untuk pemanasan, kita pun harus pelan-pelan dulu dan tidak boleh terlalu lama. Sekarang, cobalah cari dalam kehidupan anda sehari-hari, hal-hal kecil yang membuat anda marah atau merasa tidak nyaman. Kemudian tanyakan pada diri sendiri, program atau kata-kata apa yang ada dalam benak saya yang membuat saya marah. Kemudian dengan sadar carilah program yang lebih baik atau gantilah dengan kata-kata yang membuat anda merasa nyaman.

Pengalaman saya dalam menyetir mobil di Jakarta mungkin dapat dijadikan contoh di sini.
Pada awalnya saya begitu stress, cepat naik darah, uring-uringan sendiri sewaktu mengemudikan mobil di Jakarta. Saya biasanya menghabiskan waktu dengan membaca buku sewaktu menunggu lampu lalu lintas, dan sesaat sebelum lampu hijau menyala, mobil di belakang saya sudah membunyikan klakson dengan panjangnya. Bunyi klakson inilah yang membuat saya naik pitam, ‘huuuuuh, belum juga hijau sudah ngebel…heran deh,” dan tak jarang kalimat makian ikut keluar.
Bel itu saya artikan sebagai teriakan keras bahwa saya orang yang lambat, tidak siap atau bego. Setelah saya paham bahwa yang membuat saya marah sebenarnya bukan bel tersebut, tetapi program yang sudah tertanam dalam diri saya, perlahan-lahan saya mengubahnya dengan kata-kata yang lebih baik. Saya mengubahnya dengan kata-kata, “Hai teman, sebentar lagi lampu akan hijau, mari kita jalan yuuukkk…”

Awalnya memang berat dan agak terasa aneh, sama seperti pada saat fitness atau olahraga lainnya. Awalnya badan akan sakit, letih dan tidak nyaman, tetapi setelah latihan beberapa kali, anda akan terbiasa.


Sekarang, setiap bel saya dengar di lampu merah atau di tengah jalan, semuanya terdengar seperti sapaan seorang sahabat lama, sangat indah. Sampai-sampai sering saya tersenyum dan berucap, “terima kasih.”

#gobindvashdev – happinessinside

Senin, 02 Maret 2015

Walk The Talk

Salah satu hal yang menyenangkan bagi saya sebagai pembicara publik bukanlah sewaktu menerima honor, tetapi ketika ada seseorang yang menghampiri saya dan berkata, “Terima kasih pak, apa yang bapak sampaikan sungguh berguna untuk kehidupan saya”. Dan yang lebih membahagiakan saya adalah ketika ada seseorang yang menyapa, dan berucap terima kasih bahwa ada banyak perubahan positif dalam hidupnya setelah mengikuti pelatihan yang saya bawakan beberapa waktu sebelumnya.
Penuh saya sadari saat itu bahwa angin perubahan yang telah terjadi sebagian besar akibat peran orang tersebut. Yang membuat saya senang adalah pertama karena apa yang saya kerjakan selama ini paling tidak bukan sesuatu yang merusak, dan yang kedua adalah walaupun sekecil apapun, alam semesta melibatkan saya dalam proses perubahan dalam orang tersebut.

“Perubahan” inilah kata sakti yang dijual dalam hampir semua proposal, brosur, spanduk, poster para pelatih, pembicara publik, atau bahkan penulis. Kata ini juga yang sebenarnya paling diinginkan terjadi, baik seketika atau tidak. Dan demi membuat impact perubahan yang lebih besar, para pelatih berlomba-lomba mempelajari ilmu dan teknik terbaru mempengaruhi orang lain.

Jika dahulu seminar atau workshop dilakukan satu arah, sekarang dua arah, dahulu duduk diam sekarang bergerak dengan permainan, simulasi. Ada juga dengan mempraktikkan sulap, relaksasi, bahkan terapi. Tentu ini semua membuat suasana belajar lebih menarik dan memancing perhatian para peserta sehingga apa yang disampaikan dapat meresap pada benak peserta.

Berapa persen keefektifannya dalam membuat perubahan? Terus terang saya tidak tahu, ya tentunya lebih efektif daripada cara lama. Namun, pastinya dari pengalaman mengikuti banyak seminar dan pelatihan rasanya lebih banyak yang belum berubah daripada sebaliknya. Sempat saya bertanya pada beberapa pembicara ternama, mengapa ini terjadi, mengapa lebih banyak yang tidak berubah?
Beberapa jawaban yang saya dapat adalah, “Mereka tidak konsisten menerapkan tool yang saya berikan, makanya tidak ada perubahan.” Yang agak cuek menjawab, “peran saya hanya memotivasi, selanjutnya terserah mereka.“ Yang lebih menarik ada yang menjawab, “Mereka kan datang kesini bukan karena kemauannya, tetapi disuruh dan dibayar oleh perusahaannya, mereka memang belum mau berubah, jadi diapa-apakan juga sama saja.”

Menanggapi jawaban terakhir ini saya pernah mendengar ada seorang pembicara yang sudah tidak mau lagi diundang berbicara dalam perusahaan atau yang biasa disebut in house training karena alasan tersebut.

Apa yang dikatakan pembicara papan atas itu memang susah untuk disangkal, bahwa perubahan semestinya dari diri sendiri. Para pelatih ini hanya memberikan alat, motivasi, arahan dan semacamnya. Tetapi perubahan terletak pada orang itu sendiri.

Kemudian saya bertanya pada diri sendiri, jika begitu ceritanya, apa yang terbaik yang manusia lakukan untuk dapat membuat perubahan dalam diri orang lain? Akhirnya, saya menemukan dalam sebuah kalimat yang pernah diucapkan oleh seorang yang sangat besar dalam memimpin perubahan, yaitu Mahatma Gandhi. Be the change that you want to see in the world,” begitulah bunyinya. 
Jadilah perubahan seperti yang ingin kau lihat.

Biarkan saya mengambil sebuah cuplikan kehidupan Gandhi yang senada dengan apa yang dia katakan.

Suatu hari, seorang ibu membawa anaknya datang kepada Gandhi, dan berkata, “Gandhi, maukah engkau menasihati anak saya ini? Dia mempunyai sebuah penyakit, yang untuk kesembuhannya, dia tidak boleh mengkonsumsi garam. Tolong beri nasihat kepadanya untuk tidak makan garam, saya dan keluarga bahkan dokternya pun sudah berulangkali menasihatinya, teapi dia masih tetap makan garam, saya sudah kehabisan kata-kata, tolonglah saya, siapa tahu dia akan menurutimu.”
Dengan tersenyum dan suara lembut Gandhi berkata, “Ibu, sekarang saya tidak bisa berkata apa-apa, silakan ibu pulang dan bawa anak ibu ke sini minggu depan.”
“Gandhi,” kata ibu itu, “anak itu di depanmu sekarang, tidak bisakah kamu sekarang menasihatinya?” Gandhi dengan senyum yang selalu di bibirnya hanya menggelengkan kepalanya yang menandakan tidak.
Dengan perasaan campur aduk, ibu itu pulang dan tepat satu minggu mereka berdua ada dihadapan Gandhi. “saya sudah menunggu satu minggu,” kata ibu itu kepada Gandhi, “sekarang berikan nasihat itu.” Kemudian Gandhi datang mendekat ke anak itu, dan menasihati anak itu untuk tidak makan garam. Apa yang dikatakan Gandhi tidaklah istimewa, tidak ada sesuatu yang baru, hanya sebuah nasihat yang sederhana, tidak lebih.
Pada saat itu sang ibu merasa sedikit kecewa karena dalam penantiannya satu minggu dia berharap Gandhi akan melakukan sesuatu yang lebih daripada kata-kata yang biasa.
Tidak lama kemudian, Gandhi meminta ibu dan anak itu pulang, kali ini perasaan ragu-ragu menyelimuti si ibu. Si ibu tidak yakin ini akan berhasil. Namun yang terjadi sebaliknya, anak ini berhenti makan garam. Ibunya berpikir mungkin ini hanya akan terjadi satu atau dua hari, tetapi kenyataannya lebih dari itu, anak tersebut total berhenti makan garam selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.
Didorong rasa penasaran yang tinggi, seorang diri ibu ini menghadap ke Gandhi untuk ketiga kalinya dan langsung bertanya: “Gandhi, rahasia apa yang kamu miliki sehingga kamu bisa membuat anak saya berhenti makan garam?” Tanya si ibu. ‘Kata-kata yang kamu ucapkan adalah kata-kata biasa, saya sering menasihatinya dengan cara yang sama. Menurut saya dokternya menasihati dengan cara yang lebih baik, tetapi mengapa anak saya menurut kepadamu?”
Dengan lembut Gandhi menjawab pertanyaan ibu ini dengan jawaban: “ibu masih ingat pada kali pertama ibu kesini dan saya meminta ibu datang satu minggu kemudian?”
“Ya, itu dia kenapa, terus terang saya masih penasaran.” Sahut ibu itu dengan cepat.
“Pada saat itu saya belum bisa menasihati anak ibu untuk berhenti makan garam, karena pada saat itu saya masih mengkonsumsinya, sepulang ibu dari sini, saya berhenti makan garam, sampai kemudian ibu datang lagi, baru saya bisa berbicara untuk tidak makan garam ke anak ibu.”

Wow inilah kualitas seorang Gandhi. Dia hanya berbicara apa yang telah dilakukannya saja, dalam istilah bahasa inggris ini disebut walk the talk. Meski terlihat tidak ada hubungannya, apakah Gandhi makan garam atau tidak, toh anak itu tidak tahu, bukan? Namun, menurut saya itu adalah bentuk komunikasi nonverbal yang sangat dalam.

Selama ini, dalam pelatihan atau seminar yang saya ikuti tentang komunikasi diajarkan bahwa bentuk komunikasi nonverbal adalah bahasa tubuh dan vokal. Untuk memengaruhi orang kita harus membangun kepercayaan, dan untuk itu kita harus menyamakan gerak kita dengan orang yang akan kita ubah. Seperti memainkan intonasi sebelum menutup pembicaraan, berbicara dengan nada dan mimik tertentu agar dapat dipercaya dan lain sebagainya.

Ternyata kekuatan nonverbal terbesar bukanlah disana, tetapi sebuah hal yang tak terlihat sama sekali, yaitu sebuah kejujuran dalam berpikir, bertindak dan perkataan yang keluar sesuai dengan apa yang telah dikerjakan. Jika kita lihat sosok manusia yang diberi gelar Mahatma ini, sangatlah tidak meyakinkan: postur tubuh yang kecil, berambut jarang, suaranya lembut, gayanya yang tenang dan kalem terkesan lemah.

Dia jauh dari gaya seorang motivator yang mampu membakar semagat ribuan orang dihadapannya. Namun, Gandhi menurut saya adalah sosok manusia yang susah dicari tandingannya di zaman ini.
Bahkan kehebatan Gandhi membuat sang fisikawan genius Alber Einstein tidak tahan untuk mengeluarkan kata-kata, “Pada saatnya akan banyak orang yang tak percaya dan takjub bahwa pernah hidup seorang seperti Gandhi di muka bumi.” Bagaimana tidak? Ketika dia bicara, tidak kurang dari 400 juta rakyat India mendengar dan juga melakukan apa yang dia minta. Dia bukanlah seorang penguasa, tidak mempunyai senjata ataupun pangkat yang dapat mengancam atau menakut-nakuti orang lain. Kekuatan Gandhi berasal dari dalam, dari integritas walk the talk yang dilakoni selama hidupnya.

Mungkin inilah tantangan terbesar dari pembicara atau pelatih, dia harus melakukan apa yang dibicarakan dahulu untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Belajar sesuatu yang baru, membaca, mengikuti seminar untuk mendapat ilmu baru bukanlah hal yang susah. Membagikan apa yang didapat dengan cara dan sudut pandang berbeda perlu latihan, tetapi bukan hal yang berat jika dibandingkan dengan walk the talk.

Ungkapan bahwa action speak louder than words” sangatlah tepat. Ini juga membongkar teka-teki mengapa anak para professor atau doktor juga menjadi anak yang pandai. Sebelumnya mungkin dipercaya bahwa itu adalah karena unsur bawaan atau genetika, tetapi sebenarnya yang lebih tepat anak-anak ini melihat para orang tuanya belajar. Sementara kebanyakan orang tua meminta anaknya membaca atau belajar hanya dengan perintah saja.

Sewaktu menulis artikel ini, saya teringat wajah keluarga dan juga sahabat-sahabat saya yang mengubah gaya hidupnya menjadi vegetarian. Saya tidak pernah memintanya, mereka melakukan dengan sendirinya dan efeknya permanen. Saya bahkan tidak mengira ini akan terjadi. Saya hanya melakukan untuk diri saya sendiri dari kecintaan saya terhadap makhluk lain. Bagi saya, tidaklah adil jika hanya untuk memuaskan sepuluh sentimeter lidah ini, saya harus mengorbankan sebuah nyawa.
Hari ini, sudah lebih dari setahun saya mandi tanpa menggunakan sabun, dan menggantinya dengan garam. Menggantikan foam pencukur jenggot dan kumis dengan lidah buaya. Sementara untuk mencuci rambut, mencuci piring dan baju serta mengepel, saya memakai larutan buah klerek. Kemana-mana membawa botol air minum, hanya membeli buah local, berbelanja tanpa meminta tas plastik dan banyak lainnya yang sering menjadi bahan tertawaan teman-teman.

Awalnya, semua terlihat berat dan aneh. Sama seperti mengawali menjadi vegetarian di usia yang belum genap 20 tahun waktu itu. Namun kecintaan pada lingkungan serta semangat dari orang-orang besar, Gandhi salah satunya, terus terngiang di telinga, Be the change, Be the change, Be the change that you want to see in the world.”

#gobindvashdev – happinessinside

Sabtu, 28 Februari 2015

Setiap Waktu adalah Waktu Belajar

“Belajar”, itulah jawaban pelatih sukses dunia Anthony Robbins ketika ditanya mengenai rahasia kesuksesan dirinya dari seorang pembersih toilet berpenghasilan puluhan dolar hingga menjadi seorang multimiliarder.

Mendengar kata belajar, pastilah membawa ingatan kita ke masa-masa sekolah, hampir tiada hari tanpa membaca buku, menyimak guru mengajar dan mengerjakan tugas. Semua itu serasa tidak pernah ada habisnya.

Berkebalikan dengan sahabat-sahabat yang meninggalkan buku selepas sekolah, saya mulai membaca setelah tidak menyandang status murid. Tanpa ingin menyombongkan diri, dulu dimasa sekolah saya adalah murid yang paling rajin membolos, jawara dalam tidak mengerjakan PR dan selalu menduduki peringkat 3 besar dari bawah.

Sadar tertinggal jauh dari teman-teman yang lain, disertai keinginan kuat untuk bisa berguna bagi dunia ini, mata saya mulai terbuka. Pentingnya arti belajar tertanam dalam di benak ini dan diwaktu itulah perubahan seketika terjadi. Saya mulai belajar dua kali lebih keras dan berpikir dua kali lebih kuat. Dan saat ini tanpa menggurui pembaca, izinkan saya berbagi tulisan mengenai “belajar”.
Bukan belajar seperti membaca dan mengetahui teori saja. Menurut Anthony Robbins, belajar itu seperti mengendarai mobil. Jika kita mengetahui dimana pedal gas, rem dan kopling serta cara memindahkan gigi, itu berarti kita belum belajar. Belajar artinya melakukan tindakan baru, sebuah tindakan yang konsisten dan berkesinambungan sehingga yang kita pelajari menjadi sebuah kebiasaan.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Konfusius, “To know but not to do is not yet to know,” mengetahui, tetapi tidak melakukan sama artinya dengan tidak mengetahui. Melakukan atau mengambil tindakan dari apa yang diketahui itulah inti dari belajar. Dan jika tindakan ini diulang dan diulang terus maka keterampilan akan muncul. Dengan keterampilan inilah keunggulan seseorang diakui orang lain. Pandangan serupa juga diungkap oleh filsuf terkenal Yunani Aristoteles, “Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang… maka keunggulan bukanlah suatu perbuatan melainkan hasil dari kebisaaan.” Seseorang dapat meraih juara dalam turnamen bulu tangkis karena dia belajar terus. Kita semua pada awalnya sama, kita tidak punya kemampuan apa-apa. Kita belajar berjalan, belajar berbicara dan belajar bagaimana untuk makan dengan sendok dan garpu. Apa pun yang kita mampu lakukan saat ini semuanya akan diawali dengan belajar, bukan?
Sikap Mental

Jika ditanya, pada masa apakah manusia belajar paling banyak? Pada saat dewasa, remaja, atau pada saat kita kanak-kanak? Ya, jawabannya pastilah saat anak-anak. Sewaktu masih anak-anak, manusia belajar lebih banyak dibandingkan masa manapun dalam pertumbuhannya. Sampai-sampai Robert Fulghum, seorang pendeta Unitarian menulis buku All I really need to know I learnerd in kindergarten (Semua yang perlu saya ketahui telah saya pelajari di taman kanak-kanak).
Anak-anak mempunyai sikap mental yang luar biasa. Mereka melihat segala seuatu dengan apa adanya. Anak-anak mempertanyakan segala sesuatunya, tidak ada kata “tidak mungkin” dalam benaknya. Fantasi mereka jauh melampaui logikanya. Dari sisi inilah kita sebaiknya belajar pada anak-anak, tentang belajar itu sendiri.

Paling tidak ada tiga sikap mental dari anak-anak yang harus kita lakukan. Secara sederhana, sikap ini bisa dianalogikan seperti menuang air dari botol ke sebuah gelas. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah gelas agar dapat terisi air.

Syarat pertama adalah terbuka, hanya dengan gelas yang terbukalah air dapat masuk. Hanya dengan berpikiran terbuka (open mind) suatu ilmu dapat mengalir ke dalam diri ini. Seseorang dapat bersikap terbuka karena memiliki keingintahuan lebih banyak. Dalam bahasa lain, kita menyebut rasa ingin tahu yang besar layaknya seorang bocah ini sebagai rasa penasaran. Penasaran ternyata adalah suatu elemen yang utama dalam menimba ilmu.

Bahkan, manusia terjenius sepanjang sejarah, Leonardo da Vinci, menempatkan curiosita atau rasa ingin tahu ini sebagai prinsip pertama dari tujuh prinsip da vinci, seperti yang ditulis oleh Michael J. Gelb dalam buku apiknya menjadi jenius seperti Leonardo da Vinci. Hampir serupa dengan Leonardo da Vinci, Albert Einstein pernah berkata jika dia bukanlah orang yang punya bakat khusus, melainkan orang yang punya rasa penasaran yang hebat. Terbuka, terutama terhadap sesuatu yang baru dan rasa ingin tahu yang besar, adalah syarat pertama.

Yang kedua adalah kosong. “kosongkan gelasmu”, sebuah istilah popular yang mungkin sering kita dengar. Sesuatu yang penuh tidak akan dapat menampung apa-apa. Hanya kekosonganlah yang mempunyai nilai untuk sesuatu yang baru. Pikiran yang penuh dengan persepsi yang ada sebelumnya, walau tidak selalu, sering menjadi penghalang dalam proses belajar. Berbeda dengan anak kecil yang melihat apa adanya, jauh dari sikap menghakimi. Seperti inilah sikap mental yang harus kita miliki jika ingin belajar lebih banyak dan lebih dalam tentang sesuatu yang baru.

Yang ketiga, dan tak kalah penting, gelas tersebut haruslah lebih rendah daripada botol yang mengisinya. Bagaimanapun terbuka dan kosongnya gelas, tetap tidak akan terisi jika posisi gelas itu lebih tinggi daripada botol yang akan mengisinya. Bersikap rendah hati, menyadari bahwa masih banyak kekurangan adalah satu syarat penting lainnya dalam belajar. Anak-anak menyadari jika dirinya jauh dari pengalaman, anak-anak selalu menganggap orang tua lebih tahu dari dirinya.
Teringat saya pada seseorang berjiwa jernih, Lao Tze, seorang filsuf yang juga pencipta ajaran Taoisme. Dia pernah berkata, “Mengetahui bahwa kita tidak tahu apa-apa adalah awal dari kebijaksanaan.” Jika kita merasa sudah tahu semuanya, kita akan merasa cukup. Ini bisa diibaratkan buah yang sudah matang, dan kita semua tahu buah yang matang tak lama akan menjadi busuk. Merasa diri kurang, merasa kita masih jauh dari pencapaian membuat kita terus belajar.

Guru

Di atas kita berbicara tentang “gelas” (murid), lalu bagaimana dengan “botol”nya, yaitu guru. Mengapa saya menyebut dan menempatkan sosok guru sebagai sesuatu yang agung? Dalam bahasa sansekerta, Gu artinya kegelapan dan Ru artinya menghilangkan. Jadi guru adalah dia yang menghilangkan kegelapan. Seseorang yang membawa cahaya, seseorang yang membawa terang pada hidup kita.

Siapakah dia? Apakah dia bapak dan ibu guru yang ada di sekolah? Ya, tetapi bukan itu saja. Orang tua, kakak? Ya, tetapi itu baru sebagian kecil. Lalu siapa lagi?

Setiap orang, ya setiap orang adalah guru kita. Mungkin muncul di benak pembaca, apakah perampok, pencuri dan tukang tipu adalah guru kita? Saya akan langsung menjawabnya dengan YA. Karena merekalah sebenarnya yang mengajari kita lebih banyak tentang arti sebuah kejujuran dan keadilan. Kahlil Gibran, seorang penyair besar dari Lebanon, dengan indahnya menulis:
“Aku belajar diam dari yang cerewet, toleransi dari yang tidak toleran dan kebaikan dari yang jahat. Namun anehnya, aku tidak pernah merasa berterima kasih kepada guru-guruku ini.”
Apa yang ditulis oleh Gibran di atas buat saya adalah sebuah resep istimewa dalam menghadapi “orang-orang menyulitkan” yang sebenarnya adalah guru-guru kita.

Sejenak melayang pikiran saya pada 2.000 tahun yang lalu, mungkin inilah yang ingin Yesus Kristus sampaikan dengan berkata, “Kasihilah musuhmu.” Seolah-olah kita diajak untuk tidak melihat musuh sebagai sesuatu yang harus dihindari. Musuh mengajarkan kita begitu banyak tentang kehidupan. Musuh adalah guru sejati kita, untuk itulah kita harus mengasihinya.

Dari sudut pandang yang serupa secara praktis dalam sebuah subjudul Richard Carlson menulis:
“Anggaplah setiap orang yang berjalan di bumi ini sudah tercerahkan kecuali Anda sendiri.” Apa yang ingin dikatakan oleh Richard dalam buku pertama dari seri bukunya yang berjudul Don’t sweat the small stuff (Jangan meributkan masalah-masalah kecil) adalah jika anda bertemu dengan orang-orang yang membuat hati anda mendidih, jangan marah, tetapi ubahlah cara berpikir anda bahwa orang di depan anda adalah orang yang telah tercerahkan. Dia dikirim kepada anda oleh pencipta supaya anda belajar untuk bersabar. Bukankah orang-orang yang menyulitkan kita adalah orang-orang yang membuat kita pintar? Siddharta “Sang Buddha” Gautama juga pernah berkata, “Pada akhirnya kita akan sangat-sangat berterima kasih kepada orang-orang yang membuat diri ini sulit.”

Jika orang yang cerewet mengajari kita mendengar, yang kaku mengajarkan kita pentingnya bersikap fleksibel, pembohong mengajarkan kita besarnya arti kejujuran, dan mereka yang berselingkuh mengajarkan arti sebuah kesetiaan, maka diakhir tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk mengingat-ingat orang-orang yang selama ini kita benci. Orang yang selama ini kita hindari dan ingin membalas perbuatannya yang tidak menyenangkan kepada kita. Setelah mengingatnya, kemudian tanyakan pada diri sendiri, apakah pelajaran yang ingin mereka berikan kepada diri ini?

Jika kita menemukan pelajaran yang berharga dalam hidup ini dari sahabat-sahabat tersebut, itu berarti kita telah belajar sesuatu. Dan ucapkan terima kasih karena mereka adalah guru kita, karena mereka kita menjadi lebih bijak.

Jadikan setiap orang menjadi guru, setiap tempat menjadi sekolah dan setiap jam adalah jam pelajaran.


#gobindvashdev – happinessinside

Jumat, 27 Februari 2015

Semut dan Ulat

Buah campur adalah menu tetap disetiap sarapan pagi saya. Tetapi hari ini ada yang istimewa. Sewaktu asyik menikmatinya, seekor ulat kecil berwarna merah yang lucu keluar dari timbunan buah yang tersusun tidak rapi di piring bundar. Tak lama lagi seekor yang lain muncul. Terus terang, saya terkejut melihat reaksi saya yang tidak kaget melihat ulat yang tiba-tiba muncul tersebut. Saya ingat sekali beberapa tahun yang lalu kejadian yang hampir sama pernah saya alami dan waktu itu saya memutuskan untuk tidak melanjutkan makan buah itu lagi. Sama sekali tidak terlintas perasaan jijik, malah sebuah perasaan senang bahwa sarapan pagi ini saya nikmati beramai-ramai. Saya merasakan suatu perasaan yang sulit digambarkan. Saya melihat bahwa ulat tersebut dan saya diciptakan oleh pencipta yang sama, dan kita sama-sama sedang mengambil energy dari buah yang sama untuk kelangsungan hidup masing-masing. Ini mengingatkan saya ketika saya baru saja pindah ke Ubud, kamar yang saya tempati sering dilalui banyak semut. Semut dengan berbagai ukuran itu muncul dengan tiba-tiba. Awalnya saya jengkel dengan kehadirannya, saya merasa terganggu, mulai dari cairan hingga kapur pengusir serangga sudah saya gunakan untuk mengusirnya. Sampai suatu saat, ketika saya ingin mengusirnya ada sesuatu yang berbicara dalam diri saya, mungkin itu yang dinamakan suara hati dan berkata, “Tunggu dulu, mengapa kamu marah?” diri saya yang lainnya menjawab, “ya dia sangat menggangguku.” Kemudian yang pertama langsung mendebat, “Siapa mengganggu siapa? Bukankah semut-semut itu sudah ada sebelum kamu disini atau bahkan sebelum kamar ini dibangun? Lagipula semut-semut itu hanya mencari makanan.” “Dia bukan mencari tetapi mencuri,” kata yang kedua. “Bukankah kita manusia juga mencuri? Kita mengambil buah dari pohonnya, bahkan kita mengambil nyawa dari hewan untuk memenuhi kepuasan lidah kita, jangan karena mereka tidak mengenal uang kau katakan mereka mencuri, semut juga bekerja, mereka pasti mempunyai fungsi di alam semesta ini, sama seperti ulat yang menggemburkan tanah dan untuknya mereka mendapat upah makanan berupa buah dari pohon.”

Sering sekali hal ini terjadi, pergumulan saya dengan diri saya yang lain ini awalnya sering membuat saya frustrasi. Mereka sama-sama mempunyai alas an yang kuat, mereka sama-sama pintar memberikan argumennya. Namun, disisi lain pergumulan ini sangatlah mencerahkan, membuat saya melihat segala sesuatunya dari perspektif yang lain, sisi yang beda, yang lebih terang dan lebih luas.

Sewaktu di sekolah kita pasti pernah belajar tentang evolusi, evolusi dari satu bentuk kera ke bentuk kera yang lain juga hewan-hewan yang lain. Evolusi yang kita pelajari di sekolah adalah evolusi fisik. Selain evolusi fisik ada juga evolusi pikiran, yaitu suatu perubahan secara bertahap dalam tingkat pemikiran kita. Perubahan ini bukan dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi lebih dari sekedar tahu, lebih juga dari sekedar mengerti atau paham, tetapi sadar. Jika seseorang tahu dan mengerti, tetapi belum juga melakukan apa yang dia pahami, saya menyebutnya belumlah sadar. Saya tidak mengetahui mekanisme secara terperinci dalam diri seseorang bagaimana evolusi pikiran ini dapat tumbuh dari dalam bukan dari luar, walau sering kita mendengar bahwa banyak faktor luar yang dapat mengubah seseorang. Ada yang mengatakan kita bisa mendapat tingkat berpikir yang lebih baik dengan cara belajar dari buku atau guru yang luar biasa. Ada juga yang berpendapat bahwa pengalaman yang besar atau mengejutkan akan mengubah seseorang. Seperti berdampingan dengan kematian, misalnya seseorang langsung tersadar dan berubah, kemudian orang tersebut melihat hidup dengan cara yang lain, melihat begitu berharganya setiap tarikan napas.

Ya, benar sekali, kejadian eksternal akan meningkatkan cara berpikir seseorang jika ditambahkan sebuah syarat, dan syarat penting itu adalah jika orang yang mengalami sebuah kejadian mengambil pelajaran darinya. Bukan kejadian yang mengubah seseorang, tetapi orang tersebut yang mengubah dirinya sendiri dengan mengambil pelajaran dari kejadian itu. Begitu pula bukan buku atau orang lain yang mengubah seseorang, tetapi pelajaran yang diambil dari buku yang dibaca atau orang lain yang dikenalinyalah yang mengubahnya. Peran seseorang dalam mengambil pelajaran inilah yang terpenting dalam mengubah dirinya, dan inilah yang menjadikan kita mempunyai tingkatan berpikir lebih tinggi lagi. Dan dengan cara inilah evolusi pikiran terjadi. Jika terjadi evolusi dalam tingkat pikiran, pastilah kita akan melihat dunia dengan cara yang berbeda. Sesuatu yang dulu dianggap sebagai masalah, sekarang mungkin sebagai kesenangan, seperti contoh ulat dalam buah tersebut. Albert Einstein, seorang ilmuwan yang dinobatkan sebagai man of the century versi majalah Time pernah menulis: ”Masalah penting yang kita hadapi tidak dapat kita pecahkan pada tingkat berpikir yang sama seperti ketika kita menciptakan masalah tersebut.” Tingkat berpikir yang lebih tinggi adalah hal yang wajib diperlukan untuk memecahkan masalah. Contoh sederhananya adalah sewaktu kita duduk di bangku sekolah dasar misalnya, semua pelajaran kelas 1 SD pada saat kita kelas 1 SD terasa sangat sulit. Namun, ketika kita naik kelas 2, kesulitan di kelas 1 sudah tidak terasa lagi, apalagi ketika kita naik ke kelas yang lebih tinggi lagi. Atau pernahkah anda membaca sebuah buku dan anda tidak mengerti apa yang anda baca, dan setelah beberapa waktu anda membaca lagi anda mengerti apa yang dimaksud oleh buku tersebut. Jika ya, itu artinya bahwa ketika kedua kali anda membaca, cara atau tingkat pemikiran anda sudah berubah. Begitu juga di kehidupan, masalah hanya terjadi ketika tingkat kemampuan seseorang tidak lebih tinggi daripada masalah tersebut. Disaat tingkat pemikiran sudah di atas masalah maka semuanya terlihat bukan sebagai masalah.

Nah, ketika sebuah atau beberapa masalah datang berulang-ulang dalam hidup, kita mempunyai pilihan untuk mengeluh, menyalahkan orang lain, atau menghindarinya, atau kita ambil pendekatan yang lain, yaitu kita mencoba belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan level berpikir kita sehingga yang kemarin menjadi masalah hari ini menjadi sebuah kesenangan. Ingatlah disaat kemampuan kita kecil, masalah terlihat sangat besar dan begitu kemampuan kita besar masalah-masalah tersebut menjadi pernak-pernik kecil yang membuat kehidupan tampak berkilau.


#gobindvashdev – happinessinside