Salah satu hal yang menyenangkan bagi saya sebagai pembicara
publik bukanlah sewaktu menerima honor, tetapi ketika ada seseorang yang
menghampiri saya dan berkata, “Terima kasih pak, apa yang bapak sampaikan
sungguh berguna untuk kehidupan saya”. Dan yang lebih membahagiakan saya adalah
ketika ada seseorang yang menyapa, dan berucap terima kasih bahwa ada banyak
perubahan positif dalam hidupnya setelah mengikuti pelatihan yang saya bawakan
beberapa waktu sebelumnya.
Penuh saya sadari saat itu bahwa angin perubahan yang telah
terjadi sebagian besar akibat peran orang tersebut. Yang membuat saya senang adalah
pertama karena apa yang saya kerjakan
selama ini paling tidak bukan sesuatu yang merusak, dan yang kedua adalah walaupun sekecil apapun,
alam semesta melibatkan saya dalam proses perubahan dalam orang tersebut.
“Perubahan” inilah kata sakti yang dijual dalam hampir semua
proposal, brosur, spanduk, poster para pelatih, pembicara publik, atau bahkan
penulis. Kata ini juga yang sebenarnya paling diinginkan terjadi, baik seketika
atau tidak. Dan demi membuat impact
perubahan yang lebih besar, para pelatih berlomba-lomba mempelajari ilmu dan
teknik terbaru mempengaruhi orang lain.
Jika dahulu seminar atau workshop
dilakukan satu arah, sekarang dua arah, dahulu duduk diam sekarang bergerak
dengan permainan, simulasi. Ada juga dengan mempraktikkan sulap, relaksasi,
bahkan terapi. Tentu ini semua membuat suasana belajar lebih menarik dan
memancing perhatian para peserta sehingga apa yang disampaikan dapat meresap
pada benak peserta.
Berapa persen keefektifannya dalam membuat perubahan? Terus terang
saya tidak tahu, ya tentunya lebih efektif daripada cara lama. Namun, pastinya
dari pengalaman mengikuti banyak seminar dan pelatihan rasanya lebih banyak
yang belum berubah daripada sebaliknya. Sempat saya bertanya pada beberapa
pembicara ternama, mengapa ini terjadi, mengapa lebih banyak yang tidak
berubah?
Beberapa jawaban yang saya dapat adalah, “Mereka tidak
konsisten menerapkan tool yang saya
berikan, makanya tidak ada perubahan.” Yang agak cuek menjawab, “peran saya hanya
memotivasi, selanjutnya terserah mereka.“ Yang lebih menarik ada yang menjawab,
“Mereka kan datang kesini bukan karena kemauannya, tetapi disuruh dan dibayar
oleh perusahaannya, mereka memang belum mau berubah, jadi diapa-apakan juga
sama saja.”
Menanggapi jawaban terakhir ini saya pernah mendengar ada seorang
pembicara yang sudah tidak mau lagi diundang berbicara dalam perusahaan atau
yang biasa disebut in house training
karena alasan tersebut.
Apa yang dikatakan pembicara papan atas itu memang susah
untuk disangkal, bahwa perubahan semestinya dari diri sendiri. Para pelatih ini
hanya memberikan alat, motivasi, arahan dan semacamnya. Tetapi perubahan
terletak pada orang itu sendiri.
Kemudian saya bertanya pada diri sendiri, jika begitu
ceritanya, apa yang terbaik yang manusia lakukan untuk dapat membuat perubahan
dalam diri orang lain? Akhirnya, saya menemukan dalam sebuah kalimat yang pernah
diucapkan oleh seorang yang sangat besar dalam memimpin perubahan, yaitu
Mahatma Gandhi. “Be the change that you want to see in the world,” begitulah
bunyinya.
Jadilah perubahan seperti yang ingin kau lihat.
Biarkan saya mengambil sebuah cuplikan kehidupan Gandhi yang
senada dengan apa yang dia katakan.
Suatu hari, seorang ibu membawa anaknya datang kepada
Gandhi, dan berkata, “Gandhi, maukah engkau menasihati anak saya ini? Dia mempunyai
sebuah penyakit, yang untuk kesembuhannya, dia tidak boleh mengkonsumsi garam. Tolong
beri nasihat kepadanya untuk tidak makan garam, saya dan keluarga bahkan dokternya
pun sudah berulangkali menasihatinya, teapi dia masih tetap makan garam, saya
sudah kehabisan kata-kata, tolonglah saya, siapa tahu dia akan menurutimu.”
Dengan tersenyum dan suara lembut Gandhi berkata, “Ibu,
sekarang saya tidak bisa berkata apa-apa, silakan ibu pulang dan bawa anak ibu
ke sini minggu depan.”
“Gandhi,” kata ibu itu, “anak itu di depanmu sekarang, tidak
bisakah kamu sekarang menasihatinya?” Gandhi dengan senyum yang selalu di
bibirnya hanya menggelengkan kepalanya yang menandakan tidak.
Dengan perasaan campur aduk, ibu itu pulang dan tepat satu
minggu mereka berdua ada dihadapan Gandhi. “saya sudah menunggu satu minggu,”
kata ibu itu kepada Gandhi, “sekarang berikan nasihat itu.” Kemudian Gandhi
datang mendekat ke anak itu, dan menasihati anak itu untuk tidak makan garam. Apa
yang dikatakan Gandhi tidaklah istimewa, tidak ada sesuatu yang baru, hanya
sebuah nasihat yang sederhana, tidak lebih.
Pada saat itu sang ibu merasa sedikit kecewa karena dalam
penantiannya satu minggu dia berharap Gandhi akan melakukan sesuatu yang lebih
daripada kata-kata yang biasa.
Tidak lama kemudian, Gandhi meminta ibu dan anak itu pulang,
kali ini perasaan ragu-ragu menyelimuti si ibu. Si ibu tidak yakin ini akan
berhasil. Namun yang terjadi sebaliknya, anak ini berhenti makan garam. Ibunya berpikir
mungkin ini hanya akan terjadi satu atau dua hari, tetapi kenyataannya lebih
dari itu, anak tersebut total berhenti makan garam selama berhari-hari, bahkan
berminggu-minggu.
Didorong rasa penasaran yang tinggi, seorang diri ibu ini
menghadap ke Gandhi untuk ketiga kalinya dan langsung bertanya: “Gandhi, rahasia
apa yang kamu miliki sehingga kamu bisa membuat anak saya berhenti makan garam?”
Tanya si ibu. ‘Kata-kata yang kamu ucapkan adalah kata-kata biasa, saya sering
menasihatinya dengan cara yang sama. Menurut saya dokternya menasihati dengan
cara yang lebih baik, tetapi mengapa anak saya menurut kepadamu?”
Dengan lembut Gandhi menjawab pertanyaan ibu ini dengan
jawaban: “ibu masih ingat pada kali pertama ibu kesini dan saya meminta ibu
datang satu minggu kemudian?”
“Ya, itu dia kenapa, terus terang saya masih penasaran.” Sahut
ibu itu dengan cepat.
“Pada saat itu saya belum bisa menasihati anak ibu untuk berhenti
makan garam, karena pada saat itu saya masih mengkonsumsinya, sepulang ibu dari
sini, saya berhenti makan garam, sampai kemudian ibu datang lagi, baru saya bisa
berbicara untuk tidak makan garam ke anak ibu.”
Wow inilah kualitas seorang Gandhi. Dia hanya berbicara apa
yang telah dilakukannya saja, dalam istilah bahasa inggris ini disebut walk the talk. Meski terlihat tidak ada
hubungannya, apakah Gandhi makan garam atau tidak, toh anak itu tidak tahu, bukan? Namun, menurut saya itu adalah
bentuk komunikasi nonverbal yang sangat dalam.
Selama ini, dalam pelatihan atau seminar yang saya ikuti
tentang komunikasi diajarkan bahwa bentuk komunikasi nonverbal adalah bahasa
tubuh dan vokal. Untuk memengaruhi orang kita harus membangun kepercayaan, dan
untuk itu kita harus menyamakan gerak kita dengan orang yang akan kita ubah. Seperti
memainkan intonasi sebelum menutup pembicaraan, berbicara dengan nada dan mimik
tertentu agar dapat dipercaya dan lain sebagainya.
Ternyata kekuatan nonverbal terbesar bukanlah disana, tetapi
sebuah hal yang tak terlihat sama sekali, yaitu sebuah kejujuran dalam
berpikir, bertindak dan perkataan yang keluar sesuai dengan apa yang telah
dikerjakan. Jika kita lihat sosok manusia yang diberi gelar Mahatma ini,
sangatlah tidak meyakinkan: postur tubuh yang kecil, berambut jarang, suaranya
lembut, gayanya yang tenang dan kalem terkesan lemah.
Dia jauh dari gaya seorang motivator yang mampu membakar
semagat ribuan orang dihadapannya. Namun, Gandhi menurut saya adalah sosok
manusia yang susah dicari tandingannya di zaman ini.
Bahkan kehebatan Gandhi membuat sang fisikawan genius Alber
Einstein tidak tahan untuk mengeluarkan kata-kata, “Pada saatnya akan banyak
orang yang tak percaya dan takjub bahwa pernah hidup seorang seperti Gandhi di
muka bumi.” Bagaimana tidak? Ketika dia bicara, tidak kurang dari 400 juta
rakyat India mendengar dan juga melakukan apa yang dia minta. Dia bukanlah
seorang penguasa, tidak mempunyai senjata ataupun pangkat yang dapat mengancam
atau menakut-nakuti orang lain. Kekuatan Gandhi berasal dari dalam, dari
integritas walk the talk yang
dilakoni selama hidupnya.
Mungkin inilah tantangan terbesar dari pembicara atau
pelatih, dia harus melakukan apa yang dibicarakan dahulu untuk mendapatkan
hasil yang maksimal. Belajar sesuatu yang baru, membaca, mengikuti seminar
untuk mendapat ilmu baru bukanlah hal yang susah. Membagikan apa yang didapat
dengan cara dan sudut pandang berbeda perlu latihan, tetapi bukan hal yang
berat jika dibandingkan dengan walk the
talk.
Ungkapan bahwa “action speak louder than words”
sangatlah tepat. Ini juga membongkar teka-teki mengapa anak para professor atau
doktor juga menjadi anak yang pandai. Sebelumnya mungkin dipercaya bahwa itu
adalah karena unsur bawaan atau genetika, tetapi sebenarnya yang lebih tepat
anak-anak ini melihat para orang tuanya belajar. Sementara kebanyakan orang tua
meminta anaknya membaca atau belajar hanya dengan perintah saja.
Sewaktu menulis artikel ini, saya teringat wajah keluarga
dan juga sahabat-sahabat saya yang mengubah gaya hidupnya menjadi vegetarian. Saya
tidak pernah memintanya, mereka melakukan dengan sendirinya dan efeknya
permanen. Saya bahkan tidak mengira ini akan terjadi. Saya hanya melakukan
untuk diri saya sendiri dari kecintaan saya terhadap makhluk lain. Bagi saya,
tidaklah adil jika hanya untuk memuaskan sepuluh sentimeter lidah ini, saya
harus mengorbankan sebuah nyawa.
Hari ini, sudah lebih dari setahun saya mandi tanpa
menggunakan sabun, dan menggantinya dengan garam. Menggantikan foam pencukur
jenggot dan kumis dengan lidah buaya. Sementara untuk mencuci rambut, mencuci
piring dan baju serta mengepel, saya memakai larutan buah klerek. Kemana-mana
membawa botol air minum, hanya membeli buah local, berbelanja tanpa meminta tas
plastik dan banyak lainnya yang sering menjadi bahan tertawaan teman-teman.
Awalnya, semua terlihat berat dan aneh. Sama seperti
mengawali menjadi vegetarian di usia yang belum genap 20 tahun waktu itu. Namun
kecintaan pada lingkungan serta semangat dari orang-orang besar, Gandhi salah
satunya, terus terngiang di telinga, “Be the change, Be the change, Be the change
that you want to see in the world.”
#gobindvashdev – happinessinside