Sabtu, 28 Februari 2015

Setiap Waktu adalah Waktu Belajar

“Belajar”, itulah jawaban pelatih sukses dunia Anthony Robbins ketika ditanya mengenai rahasia kesuksesan dirinya dari seorang pembersih toilet berpenghasilan puluhan dolar hingga menjadi seorang multimiliarder.

Mendengar kata belajar, pastilah membawa ingatan kita ke masa-masa sekolah, hampir tiada hari tanpa membaca buku, menyimak guru mengajar dan mengerjakan tugas. Semua itu serasa tidak pernah ada habisnya.

Berkebalikan dengan sahabat-sahabat yang meninggalkan buku selepas sekolah, saya mulai membaca setelah tidak menyandang status murid. Tanpa ingin menyombongkan diri, dulu dimasa sekolah saya adalah murid yang paling rajin membolos, jawara dalam tidak mengerjakan PR dan selalu menduduki peringkat 3 besar dari bawah.

Sadar tertinggal jauh dari teman-teman yang lain, disertai keinginan kuat untuk bisa berguna bagi dunia ini, mata saya mulai terbuka. Pentingnya arti belajar tertanam dalam di benak ini dan diwaktu itulah perubahan seketika terjadi. Saya mulai belajar dua kali lebih keras dan berpikir dua kali lebih kuat. Dan saat ini tanpa menggurui pembaca, izinkan saya berbagi tulisan mengenai “belajar”.
Bukan belajar seperti membaca dan mengetahui teori saja. Menurut Anthony Robbins, belajar itu seperti mengendarai mobil. Jika kita mengetahui dimana pedal gas, rem dan kopling serta cara memindahkan gigi, itu berarti kita belum belajar. Belajar artinya melakukan tindakan baru, sebuah tindakan yang konsisten dan berkesinambungan sehingga yang kita pelajari menjadi sebuah kebiasaan.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Konfusius, “To know but not to do is not yet to know,” mengetahui, tetapi tidak melakukan sama artinya dengan tidak mengetahui. Melakukan atau mengambil tindakan dari apa yang diketahui itulah inti dari belajar. Dan jika tindakan ini diulang dan diulang terus maka keterampilan akan muncul. Dengan keterampilan inilah keunggulan seseorang diakui orang lain. Pandangan serupa juga diungkap oleh filsuf terkenal Yunani Aristoteles, “Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang… maka keunggulan bukanlah suatu perbuatan melainkan hasil dari kebisaaan.” Seseorang dapat meraih juara dalam turnamen bulu tangkis karena dia belajar terus. Kita semua pada awalnya sama, kita tidak punya kemampuan apa-apa. Kita belajar berjalan, belajar berbicara dan belajar bagaimana untuk makan dengan sendok dan garpu. Apa pun yang kita mampu lakukan saat ini semuanya akan diawali dengan belajar, bukan?
Sikap Mental

Jika ditanya, pada masa apakah manusia belajar paling banyak? Pada saat dewasa, remaja, atau pada saat kita kanak-kanak? Ya, jawabannya pastilah saat anak-anak. Sewaktu masih anak-anak, manusia belajar lebih banyak dibandingkan masa manapun dalam pertumbuhannya. Sampai-sampai Robert Fulghum, seorang pendeta Unitarian menulis buku All I really need to know I learnerd in kindergarten (Semua yang perlu saya ketahui telah saya pelajari di taman kanak-kanak).
Anak-anak mempunyai sikap mental yang luar biasa. Mereka melihat segala seuatu dengan apa adanya. Anak-anak mempertanyakan segala sesuatunya, tidak ada kata “tidak mungkin” dalam benaknya. Fantasi mereka jauh melampaui logikanya. Dari sisi inilah kita sebaiknya belajar pada anak-anak, tentang belajar itu sendiri.

Paling tidak ada tiga sikap mental dari anak-anak yang harus kita lakukan. Secara sederhana, sikap ini bisa dianalogikan seperti menuang air dari botol ke sebuah gelas. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah gelas agar dapat terisi air.

Syarat pertama adalah terbuka, hanya dengan gelas yang terbukalah air dapat masuk. Hanya dengan berpikiran terbuka (open mind) suatu ilmu dapat mengalir ke dalam diri ini. Seseorang dapat bersikap terbuka karena memiliki keingintahuan lebih banyak. Dalam bahasa lain, kita menyebut rasa ingin tahu yang besar layaknya seorang bocah ini sebagai rasa penasaran. Penasaran ternyata adalah suatu elemen yang utama dalam menimba ilmu.

Bahkan, manusia terjenius sepanjang sejarah, Leonardo da Vinci, menempatkan curiosita atau rasa ingin tahu ini sebagai prinsip pertama dari tujuh prinsip da vinci, seperti yang ditulis oleh Michael J. Gelb dalam buku apiknya menjadi jenius seperti Leonardo da Vinci. Hampir serupa dengan Leonardo da Vinci, Albert Einstein pernah berkata jika dia bukanlah orang yang punya bakat khusus, melainkan orang yang punya rasa penasaran yang hebat. Terbuka, terutama terhadap sesuatu yang baru dan rasa ingin tahu yang besar, adalah syarat pertama.

Yang kedua adalah kosong. “kosongkan gelasmu”, sebuah istilah popular yang mungkin sering kita dengar. Sesuatu yang penuh tidak akan dapat menampung apa-apa. Hanya kekosonganlah yang mempunyai nilai untuk sesuatu yang baru. Pikiran yang penuh dengan persepsi yang ada sebelumnya, walau tidak selalu, sering menjadi penghalang dalam proses belajar. Berbeda dengan anak kecil yang melihat apa adanya, jauh dari sikap menghakimi. Seperti inilah sikap mental yang harus kita miliki jika ingin belajar lebih banyak dan lebih dalam tentang sesuatu yang baru.

Yang ketiga, dan tak kalah penting, gelas tersebut haruslah lebih rendah daripada botol yang mengisinya. Bagaimanapun terbuka dan kosongnya gelas, tetap tidak akan terisi jika posisi gelas itu lebih tinggi daripada botol yang akan mengisinya. Bersikap rendah hati, menyadari bahwa masih banyak kekurangan adalah satu syarat penting lainnya dalam belajar. Anak-anak menyadari jika dirinya jauh dari pengalaman, anak-anak selalu menganggap orang tua lebih tahu dari dirinya.
Teringat saya pada seseorang berjiwa jernih, Lao Tze, seorang filsuf yang juga pencipta ajaran Taoisme. Dia pernah berkata, “Mengetahui bahwa kita tidak tahu apa-apa adalah awal dari kebijaksanaan.” Jika kita merasa sudah tahu semuanya, kita akan merasa cukup. Ini bisa diibaratkan buah yang sudah matang, dan kita semua tahu buah yang matang tak lama akan menjadi busuk. Merasa diri kurang, merasa kita masih jauh dari pencapaian membuat kita terus belajar.

Guru

Di atas kita berbicara tentang “gelas” (murid), lalu bagaimana dengan “botol”nya, yaitu guru. Mengapa saya menyebut dan menempatkan sosok guru sebagai sesuatu yang agung? Dalam bahasa sansekerta, Gu artinya kegelapan dan Ru artinya menghilangkan. Jadi guru adalah dia yang menghilangkan kegelapan. Seseorang yang membawa cahaya, seseorang yang membawa terang pada hidup kita.

Siapakah dia? Apakah dia bapak dan ibu guru yang ada di sekolah? Ya, tetapi bukan itu saja. Orang tua, kakak? Ya, tetapi itu baru sebagian kecil. Lalu siapa lagi?

Setiap orang, ya setiap orang adalah guru kita. Mungkin muncul di benak pembaca, apakah perampok, pencuri dan tukang tipu adalah guru kita? Saya akan langsung menjawabnya dengan YA. Karena merekalah sebenarnya yang mengajari kita lebih banyak tentang arti sebuah kejujuran dan keadilan. Kahlil Gibran, seorang penyair besar dari Lebanon, dengan indahnya menulis:
“Aku belajar diam dari yang cerewet, toleransi dari yang tidak toleran dan kebaikan dari yang jahat. Namun anehnya, aku tidak pernah merasa berterima kasih kepada guru-guruku ini.”
Apa yang ditulis oleh Gibran di atas buat saya adalah sebuah resep istimewa dalam menghadapi “orang-orang menyulitkan” yang sebenarnya adalah guru-guru kita.

Sejenak melayang pikiran saya pada 2.000 tahun yang lalu, mungkin inilah yang ingin Yesus Kristus sampaikan dengan berkata, “Kasihilah musuhmu.” Seolah-olah kita diajak untuk tidak melihat musuh sebagai sesuatu yang harus dihindari. Musuh mengajarkan kita begitu banyak tentang kehidupan. Musuh adalah guru sejati kita, untuk itulah kita harus mengasihinya.

Dari sudut pandang yang serupa secara praktis dalam sebuah subjudul Richard Carlson menulis:
“Anggaplah setiap orang yang berjalan di bumi ini sudah tercerahkan kecuali Anda sendiri.” Apa yang ingin dikatakan oleh Richard dalam buku pertama dari seri bukunya yang berjudul Don’t sweat the small stuff (Jangan meributkan masalah-masalah kecil) adalah jika anda bertemu dengan orang-orang yang membuat hati anda mendidih, jangan marah, tetapi ubahlah cara berpikir anda bahwa orang di depan anda adalah orang yang telah tercerahkan. Dia dikirim kepada anda oleh pencipta supaya anda belajar untuk bersabar. Bukankah orang-orang yang menyulitkan kita adalah orang-orang yang membuat kita pintar? Siddharta “Sang Buddha” Gautama juga pernah berkata, “Pada akhirnya kita akan sangat-sangat berterima kasih kepada orang-orang yang membuat diri ini sulit.”

Jika orang yang cerewet mengajari kita mendengar, yang kaku mengajarkan kita pentingnya bersikap fleksibel, pembohong mengajarkan kita besarnya arti kejujuran, dan mereka yang berselingkuh mengajarkan arti sebuah kesetiaan, maka diakhir tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk mengingat-ingat orang-orang yang selama ini kita benci. Orang yang selama ini kita hindari dan ingin membalas perbuatannya yang tidak menyenangkan kepada kita. Setelah mengingatnya, kemudian tanyakan pada diri sendiri, apakah pelajaran yang ingin mereka berikan kepada diri ini?

Jika kita menemukan pelajaran yang berharga dalam hidup ini dari sahabat-sahabat tersebut, itu berarti kita telah belajar sesuatu. Dan ucapkan terima kasih karena mereka adalah guru kita, karena mereka kita menjadi lebih bijak.

Jadikan setiap orang menjadi guru, setiap tempat menjadi sekolah dan setiap jam adalah jam pelajaran.


#gobindvashdev – happinessinside

Jumat, 27 Februari 2015

Semut dan Ulat

Buah campur adalah menu tetap disetiap sarapan pagi saya. Tetapi hari ini ada yang istimewa. Sewaktu asyik menikmatinya, seekor ulat kecil berwarna merah yang lucu keluar dari timbunan buah yang tersusun tidak rapi di piring bundar. Tak lama lagi seekor yang lain muncul. Terus terang, saya terkejut melihat reaksi saya yang tidak kaget melihat ulat yang tiba-tiba muncul tersebut. Saya ingat sekali beberapa tahun yang lalu kejadian yang hampir sama pernah saya alami dan waktu itu saya memutuskan untuk tidak melanjutkan makan buah itu lagi. Sama sekali tidak terlintas perasaan jijik, malah sebuah perasaan senang bahwa sarapan pagi ini saya nikmati beramai-ramai. Saya merasakan suatu perasaan yang sulit digambarkan. Saya melihat bahwa ulat tersebut dan saya diciptakan oleh pencipta yang sama, dan kita sama-sama sedang mengambil energy dari buah yang sama untuk kelangsungan hidup masing-masing. Ini mengingatkan saya ketika saya baru saja pindah ke Ubud, kamar yang saya tempati sering dilalui banyak semut. Semut dengan berbagai ukuran itu muncul dengan tiba-tiba. Awalnya saya jengkel dengan kehadirannya, saya merasa terganggu, mulai dari cairan hingga kapur pengusir serangga sudah saya gunakan untuk mengusirnya. Sampai suatu saat, ketika saya ingin mengusirnya ada sesuatu yang berbicara dalam diri saya, mungkin itu yang dinamakan suara hati dan berkata, “Tunggu dulu, mengapa kamu marah?” diri saya yang lainnya menjawab, “ya dia sangat menggangguku.” Kemudian yang pertama langsung mendebat, “Siapa mengganggu siapa? Bukankah semut-semut itu sudah ada sebelum kamu disini atau bahkan sebelum kamar ini dibangun? Lagipula semut-semut itu hanya mencari makanan.” “Dia bukan mencari tetapi mencuri,” kata yang kedua. “Bukankah kita manusia juga mencuri? Kita mengambil buah dari pohonnya, bahkan kita mengambil nyawa dari hewan untuk memenuhi kepuasan lidah kita, jangan karena mereka tidak mengenal uang kau katakan mereka mencuri, semut juga bekerja, mereka pasti mempunyai fungsi di alam semesta ini, sama seperti ulat yang menggemburkan tanah dan untuknya mereka mendapat upah makanan berupa buah dari pohon.”

Sering sekali hal ini terjadi, pergumulan saya dengan diri saya yang lain ini awalnya sering membuat saya frustrasi. Mereka sama-sama mempunyai alas an yang kuat, mereka sama-sama pintar memberikan argumennya. Namun, disisi lain pergumulan ini sangatlah mencerahkan, membuat saya melihat segala sesuatunya dari perspektif yang lain, sisi yang beda, yang lebih terang dan lebih luas.

Sewaktu di sekolah kita pasti pernah belajar tentang evolusi, evolusi dari satu bentuk kera ke bentuk kera yang lain juga hewan-hewan yang lain. Evolusi yang kita pelajari di sekolah adalah evolusi fisik. Selain evolusi fisik ada juga evolusi pikiran, yaitu suatu perubahan secara bertahap dalam tingkat pemikiran kita. Perubahan ini bukan dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi lebih dari sekedar tahu, lebih juga dari sekedar mengerti atau paham, tetapi sadar. Jika seseorang tahu dan mengerti, tetapi belum juga melakukan apa yang dia pahami, saya menyebutnya belumlah sadar. Saya tidak mengetahui mekanisme secara terperinci dalam diri seseorang bagaimana evolusi pikiran ini dapat tumbuh dari dalam bukan dari luar, walau sering kita mendengar bahwa banyak faktor luar yang dapat mengubah seseorang. Ada yang mengatakan kita bisa mendapat tingkat berpikir yang lebih baik dengan cara belajar dari buku atau guru yang luar biasa. Ada juga yang berpendapat bahwa pengalaman yang besar atau mengejutkan akan mengubah seseorang. Seperti berdampingan dengan kematian, misalnya seseorang langsung tersadar dan berubah, kemudian orang tersebut melihat hidup dengan cara yang lain, melihat begitu berharganya setiap tarikan napas.

Ya, benar sekali, kejadian eksternal akan meningkatkan cara berpikir seseorang jika ditambahkan sebuah syarat, dan syarat penting itu adalah jika orang yang mengalami sebuah kejadian mengambil pelajaran darinya. Bukan kejadian yang mengubah seseorang, tetapi orang tersebut yang mengubah dirinya sendiri dengan mengambil pelajaran dari kejadian itu. Begitu pula bukan buku atau orang lain yang mengubah seseorang, tetapi pelajaran yang diambil dari buku yang dibaca atau orang lain yang dikenalinyalah yang mengubahnya. Peran seseorang dalam mengambil pelajaran inilah yang terpenting dalam mengubah dirinya, dan inilah yang menjadikan kita mempunyai tingkatan berpikir lebih tinggi lagi. Dan dengan cara inilah evolusi pikiran terjadi. Jika terjadi evolusi dalam tingkat pikiran, pastilah kita akan melihat dunia dengan cara yang berbeda. Sesuatu yang dulu dianggap sebagai masalah, sekarang mungkin sebagai kesenangan, seperti contoh ulat dalam buah tersebut. Albert Einstein, seorang ilmuwan yang dinobatkan sebagai man of the century versi majalah Time pernah menulis: ”Masalah penting yang kita hadapi tidak dapat kita pecahkan pada tingkat berpikir yang sama seperti ketika kita menciptakan masalah tersebut.” Tingkat berpikir yang lebih tinggi adalah hal yang wajib diperlukan untuk memecahkan masalah. Contoh sederhananya adalah sewaktu kita duduk di bangku sekolah dasar misalnya, semua pelajaran kelas 1 SD pada saat kita kelas 1 SD terasa sangat sulit. Namun, ketika kita naik kelas 2, kesulitan di kelas 1 sudah tidak terasa lagi, apalagi ketika kita naik ke kelas yang lebih tinggi lagi. Atau pernahkah anda membaca sebuah buku dan anda tidak mengerti apa yang anda baca, dan setelah beberapa waktu anda membaca lagi anda mengerti apa yang dimaksud oleh buku tersebut. Jika ya, itu artinya bahwa ketika kedua kali anda membaca, cara atau tingkat pemikiran anda sudah berubah. Begitu juga di kehidupan, masalah hanya terjadi ketika tingkat kemampuan seseorang tidak lebih tinggi daripada masalah tersebut. Disaat tingkat pemikiran sudah di atas masalah maka semuanya terlihat bukan sebagai masalah.

Nah, ketika sebuah atau beberapa masalah datang berulang-ulang dalam hidup, kita mempunyai pilihan untuk mengeluh, menyalahkan orang lain, atau menghindarinya, atau kita ambil pendekatan yang lain, yaitu kita mencoba belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan level berpikir kita sehingga yang kemarin menjadi masalah hari ini menjadi sebuah kesenangan. Ingatlah disaat kemampuan kita kecil, masalah terlihat sangat besar dan begitu kemampuan kita besar masalah-masalah tersebut menjadi pernak-pernik kecil yang membuat kehidupan tampak berkilau.


#gobindvashdev – happinessinside

Rabu, 25 Februari 2015

Tubuh dan Pikiran Apa Yang Anda Inginkan ?

Suara seorang wanita yang terdengar di ujung telepon bertanya dalam acara talkshow  interaktif di sebuah radio swasta di Bali, setelah mengucap salam, ibu ini bertanya kepada saya, “bila saya mendengar acara tentang kejernihan pikiran, membaca buku-buku motivasi atau seminar-seminar pencerahan semuanya terasa benar dan baik, tetapi mengapa ya itu terasa susah sekali untuk dilakukan?”

Pernahkan Anda mengalami hal yang sama? Jika ya, berarti Anda tidak sendirian, sebagian besar hal ini terjadi di masyarakat dunia.

Terasa betul sekali apa yang dikatakan ibu tersebut bahwa seringkali apa yang kita dengar, baca atau ikuti dalam pelatihan itu semuanya indah, tetapi hanya dapat dijalankan dalam tataran pikiran atau filosofis. Dalam tataran praktis sehari-hari apalagi dalam kehidupan bermasyarakat ketika kita dituntut berhubungan dengan orang lain semuanya itu susah sekali dilakukan, “contohnya berpikir positif dan sabar”, ibu pendengar radio yang diujung telepon itu melanjutkan, “Bagaimana kita dapat berpikir positif sementara orang lain menuduh saya yang bukan-bukan, atau bagaimana kita dapat sabar jika saya sudah beritahu staf saya berkali-kali dengan berbagai cara dia masih melakukan kesalahan juga.”

Lagi-lagi, sangatlah mudah untuk setuju pada apa yang dikatakan ibu tersebut. Kita mengiyakan karena itu juga terjadi pada diri kita. Di sini kita tidak mencari cara apa yang seharusnya dilakukan, tetapi melakukan pembenaran-pembenaran dalam kelemahan diri, dan bahkan mengklaim jika apa yang ada di buku atau diseminar bukan hanya susah, tetapi tidak mungkin dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak sedikit yang mempunyai kesimpulan bahwa yang namanya sabar, tekun, percaya diri, pemarah, pemalu dan sifat-sifat lain yang positif atau negatif itu adalah turunan atau bawaan orok, bahwa semua itu sudah ada dalam jaringan DNA/RNA kita dan tidak mungkin dapat diubah.

Pertanyaan selanjutnya, apakah sifat dapat diubah? Ya dan tidak, lho kok jawabannya ambigu begitu? Ya semuanya tergantung, tergantung dari keyakinan atau system kepercayaan kita. Henry Ford pernah berkata “Whether you think you can or you can’t, you are right”, jika Anda berpikir bisa atau Anda tidak bisa, dua-duanya Anda benar. Jika semua tergantung keyakinan, apakah dengan kita yakin bisa sabar, kita akan menjadi orang sabar? No, tunggu dulu, mempunyai Keyakinan bahwa kita dapat berubah  kearah yang lebih baik adalah suatu fondasi yang bagus, tetapi jika kita berhenti sampai fondasi saja dan tidak membangun rumah, kita tetap kehujanan dan kepanasan.

Manusia adalah makhluk kebisaaan, dan semua system kepercayaan (belief system), nilai (value), aturan (rules) atau mudahnya sifat yang ada didalam diri kita semuanya terbentuk dari pengalaman atau kebiasaan masa lalu kita. Kita mempunyai pohon dalam pikiran kita, ada pohon kesabaran, cinta kasih, kepedulian, melayani atau sering disebut sifat positif dan juga pohon yang tidak menguntungkan seperti ketakutan, keserakahan egois, dan lainnya. Perlu diketahui bahwa semua ini sebenarnya tidak ada yang buruk, semuanya mempunyai maksud yang baik, mereka ada pada dasarnya untuk melindungi diri kita. Misalnya orang yang serakah, jika dilihat, orang ini pada dasarnya takut akan masa depan yang tidak pasti. Oleh karena itu, untuk melindungi dirinya dari kesengsaraan, dia mengamankan dirinya dengan ingin memiliki lebih pada semua hal. Kita dapat menyimpulkan disini dengan satu kata yang berkonotasi tidak baik yaitu serakah. Sekali lagi semua aturan, kepercayaan, value dalam diri seseorang pada dasarnya baik, tetapi ada yang menguntungkan, ada yang tidak menguntungkan dirinya. Kembali pada analogi pohon, sama seperti pohon yang ada di dunia ini, pohon dalam pikiran kita juga akan berkembang jika kita merawat atau memberikan makanan. Jika dalam kehidupan sehari-hari kita menyiram pohon kemarahan, pohon ini akan berkembang dan mempunyai akar yang sangat kuat, tarikannya akan begitu kuat sehingga jika ada sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita ,alangkah mudahnya kita terseret dalam kemarahan dibandingkan kesabaran yang pohonnya tidak pernah kita beri makan.

Saringan Pikiran
Bad news is good news. Itulah semboyan yang sering kita dengar dari media massa, jika kita mau perhatikan bahwa dalam era komunikasi ini sangat sulit kita terlepas dari media. Boleh dikatakan kita adalah generasi pertama yang dikepung media. Dan tak terbantahkan jika berita buruk seperti perkosaan, pencurian, korupsi lebih mendominasi media massa yang ada disekeliling kita. Seorang sahabat yang sangat kreatif, Mas Iwang, begitu biasanya dia dipanggil, dengan keisengan kreatifnya pernah menutup semua berita “negatif” pada sebuah eksemplar surat kabar nasional, terbitan ibukota dengan kertas warna hitam, dan membiarkan berita “positif” begitu saja, alhasil lebih dari 70% dari Koran tersebut berwarna hitam. Belum lagi jika kita sering melihat tontonan seperti berita criminal mungkin lebih dari 10 berita ada 12 yang buruk.

Di saat kita memperhatikan sesuatu, apapun itu, sebenarnya kita memberikan energy kepada apa yang kita perhatikan tersebut, ketika kita melihat tayangan atau bacaan atau mendengar berita buruk yang membuat kita takut, cemas atau marah, itu sama saja kita memberi energy (baca: air) pada pohon ketakutan, kecemasan dan kemarahan dalam diri kita. Fokus kepada berita yang menguntungkan dan menghindari berita yang merugikan adalah kuncinya.
Sebuah email yang saya terima beberapa tahun lalu, masih tersimpan, tentang saringan tiga lapis, sangat membantu saya untuk menyaring berita yang perlu saya ambil atau tidak. Izinkan saya membagi tulisan itu di sini.

Pada zaman Yunani kuno, Socrates adalah seorang terpelajar dan intelektual yang terkenal reputasinya karena pengetahuan dan kebijaksanaannya yang tinggi. Suatu hari seorang pria berjumpa dengan Socrates dan berkata, “Tahukah Anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah satu teman Anda?”
“Tunggu sebentar,” jawab Socrates. “Sebelum Memberitahukan saya sesuatu, saya ingin Anda melewati sebuah ujian kecil. Ujian tersebut dinamakan Ujian Saringan Tiga Lapis.”
“Saringan Tiga Lapis?” tanya pria tersebut.
“Betul,” lanjut Socrates, “sebelum Anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, merupakan ide yang bagus untuk menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan Anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai ujian Saringan Tiga Lapis.”
“Saringan yang pertama adalah KEBENARAN. Sudah pastikah Anda bahwa apa yang akan Anda katakan kepada saya adalah hal yang benar?”
“TIdak” kata pria tersebut, “Sesungguhnya saya baru saja mendengarnya dan ingin memberitahukannya kepada Anda.”
“Baiklah,” kata Socrates. “Jadi Anda sungguh tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak.”
“Sekarang mari kita coba saringan kedua, yaitu KEBAIKAN. Apakah yang akan Anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu yang baik?”
“Tidak, sebaliknya, mengenai hal yang buruk.”
“Jadi,” lanjut Socrates, “Anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang buruk mengenai dia, tetapi Anda tidak yakin jika itu benar. Anda mungkin masih dapat lulus ujian selanjutnya, yaitu KEGUNAAN. Apakah cerita yang ingin Anda beritahukan kepada saya tentang teman saya tersebut akan berguna buat saya?”
“TIdak, sungguh tidak,” jawab pria tersebut.
“Jika begitu,” simpul Socrates, jika apa yang Anda ingin beritahukan kepada saya tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya, mengapa Anda ingin menceritakannya kepada saya?”

Tubuh dan pikiran adalah suatu kesatuan yang keduanya saling berinteraksi, dan keduanya adalah hasil dari apa yang dilakukan dan dipikirkan terhadapnya dimasa sebelumnya. Jika kita melihat tubuh ini dan memperhatikan pikiran kita semuanya terbentuk seperti sekarang ini karena ini adalah hasil dari apa yang telah Anda lakukan dan pikirkan. Jika sulit bagi diri kita untuk berpikir positif itu tidak lain karena pohon “positif” dalam pikiran kita jarang diberi makan, ketika perasaan iri dengki dominan dalam diri kita, itu bukan karena kejadian di luar atau orang lain yang menyebabkannya, semua adalah peran kita dalam memupuk kesuburannya. Karena itulah apa yang disampaikan dalam buku, seminar atau radio yang kita dengar sangatlah sulit untuk diterapkan sehari-hari, karena pohon-pohon “positif” itu belum mengakar dalam diri kita. Perlu ekstra kerja keras dalam membuat perubahan yang seketika jika keadaannya seperti ini, tetapi tidak perlu berkecil hati selama ada kemauan pasti ada jalan, bukan bisa atau tidak melainkan yang penting adalah mau atau tidak.

Sekali lagi, tubuh dan pikiran kita hari ini terjadi karena apa yang kita lakukan dan pikirkan pada masa lalu, tubuh dan pikiran apa yang ingin Anda lihat pada masa depan, tergantung pada apa yang akan Anda lakukan dan pikirkan mulai saat ini dan ke depannya.


#gobindvashdev - happinessinside

Selasa, 24 Februari 2015

Jangan Memberi Anakmu Sesuap Nasi Yang tidak Pasti Halal

Temen-temen sekalian, Assalamualaikum ww.. Para Ulama, para Habib, para Ustad selalu memperingatkan: eh.. jangan kasih anakmu sesuap nasi yang tidak pasti halal, selalu peringatkan, selalu hitunglah itu nasi di piring tempat makanmu itu, air yang diminum oleh anakmu, selalu diperhitungkan jangan sampai ada satu anasir haram yang masuk melalui mulut dia ke dalam perut dia. Diolah oleh usus, kemudian diurai menjadi zat-zat, menjadi protein, menjadi lemak, menjadi segala macem dan kemudian masuk ke dalam darah, dan dia mengalir. Kemudian darah itu akan menentukan denyut jantungmu, akan menentukan seluruh kerjanya urat syaraf sampai ke otakmu, akan menentukan dialektikanya dengan segala macam getaran elektromagnetik di kepalamu, akan menentukan suplainya ke otak kiri ke otak kanan, dan lain-lain sebagainya. Sehingga kalo ada satu unsur haram dari makanan yang dimakan oleh anakmu, maka ia akan menciptakan mudharat-mudharat secara akumulatif dan tidak bisa dihitung oleh ilmu manusia.
Kalo diturutin, Ya Allah.. susah banget untuk bisa bener-bener makan sesuatu yang halal. Maka mungkin itu sebabnya Tuhan maha pemaaf, karena manusia tidak akan punya ilmu sampai sedetail itu. Kita bisanya itu ya hanya satu tahap, satu petak. Jadi misalnya kalo beli apa-apa di warung, warungnya jelas menjamin halal, ya sudah di warung itu kita beli. Kita tidak bisa dikejar dibelakang warung ini bagaimana asal usulnya.
Jadi bekal kita saya kira, kalo Cuma pake ilmu dan penelitian untuk mengetahui sesuatu itu halal atau haram, maka tidak akan mampu kita. Maka bekal kita yang terbaik dalam hidup ini adalah harus beristighfar, selalu memohon ampun kepada Allah, sehingga mudah-mudahan kalo tak sengaja ada makanan yang haram masuk kedalam mulut kita walaupun kita tidak mencurinya tapi ternyata yang kita beli itu barang curian misalnya, sehingga kita sebenarnya menjadi tukang tadah, itu masih ada netralisatornya, masih ada eliminatornya, yaitu ampunan Allah. Dan untuk mendapat ampunan Allah itu jalannya Cuma satu, yaitu membiasakan memohon ampun yang kalo orang Islam selalu beristighfar  astaghfirullahal adziem - astaghfirullah robbal baroya - astaghfirullah minal khataya….
#catatan kehidupan emhaainunnadjib untuk deltaFM

Lebih Baik Anda Jadi Kafir

Temen-temen sekalian, Assalamualaikum ww. Saya pernah nekat menjawab pertanyaan seseorang disebuah forum: “Cak gimana supaya adzab Tuhan tidak berkepanjangan; gempa, gunung mau meletus, banjir, tsunami, Jakarta akan jadi lautan api, akan ada gempa yang bikin gedung-gedung listriknya konslet dan kebakaran, akan ada bom meledak, akan ada musim kering yang panjang sehingga satu dua pusat industri akan mengalami kobaran api.” Macam-macam dia tanya.  “Solusinya apa ini supaya Tuhan ndak marah seperti ini?”
Saya nekat menjawab dan yang pasti dimarahi banyak orang. Jawaban saya: “Saya kira sebaiknya Indonesia ini penduduknya kafir semua, mungkin lebih selamat..” wah saya dimarahi oleh semua anggota forum, terpaksa saya jawab: “Mas saya ulang tentang perawan tempo hari itu, putri anda maunya tidak dikawini orang, tidak dicintai siapa-siapa, sampai tua ataukah dikasih I love you, dikawinin tapi dimain-mainkan? Anda lebih suka yang mana?” Jawabnya: “Saya lebih suka yang pertama, mending anak saya tidak kawin daripada kawin tapi dimain-mainin.” Dan begitulah sikap Tuhan, mending anda jadi kafir, dosa anda Cuma satu. Daripada anda jadi muslim, jadi orang beragama, tapi anda main-main dengan Tuhan..
#catatan kehidupan emhaainunnadjib untuk deltaFM

Tanah Sarang Ular

Mengubah musibah menjadi anugerah itu tidak hanya mengubah cara pandang, dan tidak juga mengganti cara penerimaan musibah itu. Memang begitu. Tetapi karena dinilai penting, dan dapat menyelesaikan ragam persoalan, maka tidak cukup itu saja. Melainkan harus ada cara-cara praktis untuk mengubah musibah menjadi anugerah. Atau dengan kata lain,memanfaatkan musibah sebisa mungkin.
Diseberang sana, di belahan bumi Amerika, seseorang mengajukan pensiun dini dari bekerja. Iapun mengambil gaji terakhir dari pekerjaannya yang tidak gampang. Semua itu dilakukan lantaran ketika membaca Koran ia menemukan iklan dijualnya tanah yang luas dengan harga murah. Nah, karena harga tanah dinilai terjangkau, tanpa pikir panjang ia segera mendatangi perusahaan yang menginklankannya, lalu membeli tanah itu tanpa terlebih dulu melihat keadaan yang sebenarnya. Harga dibayar dan sertifikatpun diambil. Uang yang dibayarkan adalah gaji terakhir yang ia terima.
Selanjutnya pergilah orang itu untuk melihat tanah barunya. Setibanya disana, ia terhenyak tak mampu mengendalikan diri. Ternyata tanah itu tandus tidak berpohon. Sama sekali tidak memiliki sumber air, banyak bebatuan sehingga tidak bagus ditanami, dan permukaannya bergelombang. Lebih mengejutkan lagi, tanah itu merupakan sarang ular-ular besar yang menakutkan.
Kini orang itu pulang. Musibah itu menyita sebagian besar ruang pikirnya, tiba-tiba ia mendapatkan ide cemerlang. Sebuah keputusan telah diambil mantap. Tanah itu ingin ia jadikan lahan budidaya dan pusat pelatihan ular. Dengan semangat membara, ia pun mulai bekerja.
Tidak seberapa lama kemudian ia berhasil menjadi seorang eksportir ular-ular besar yang banyak diburu pengelola kebun binatang, maupun produsen tas dan ikat pinggang yang menginginkan kulit binatang itu. Selain itu, ditengah tanah tersebut, ia mendirikan tempat pengumpulan plasma darah ular untuk dijual ke perusahaan farmasi. Bahkan ia juga menjadikan tanah itu sebagai tempat rekreasi yang memiliki nuansa tersendiri. Pada akhirnya semua itu memberikan pendapatan lebih besar daripada yang diharapkan jika tanah itu bisa ditanami.  
#ngutip dari buku BLESSING IN DISGUISE

Jangan merendahkan diri terhadap uang

Saya sering dianggap sombong oleh teman-teman saya, karena saya selalu mengatakan bahwa saya tidak akan pernah mau hidup di dunia hanya untuk mencari uang. Jadi saya tidak pernah mencari uang. Saya menulis, mungkin saya bikin puisi, mungkin kadang-kadang saya bermain musi, mungkin kadang-kadang saya melakukan apapun yang diminta masyarakat, tapi saya tidak akan pernah melakukan apapun di dunia ini untuk mencari uang. Artinya UANG HARUS HANYA MENJADI EFEK MORAL DARI SEBUAH PEKERJAAN.
Kalau anda nyetir, nyopir bis, itu meski anda tidak nyari uang anda akan dapat bayaran. Maksud saya, anda tidak perlu menjadi makhluk yang merendahkan dirinya dengan mengejar-ngejar makhluk lain yang namanya uang, karena anda lebih tinggi dari uang. Yang kita perlukan adalah: bagaimana supaya kita menjadi sebuah kepribadian dengan sifat, sikap dan perilaku yang membikin uang mengejar kita. Jadi misalnya apa yang disebut amanat, amanah, jadi orang merasa aman sama anda. Kalau orang nitipin motor ke anda orang percaya motornya gak akan rusak, gak akan dipake yang engga-engga. Orang menitipkan jabatan kepada anda orang merasa aman kepada anda. Itu disebut mukmin kalo dalam Islam. Asal anda bikin orang aman, anda bisa dipercaya, anda membikin segala sesuatu stabil, maka anda tidak perlu cari uang karena uang akan sibuk mencari anda.
Jadi itu yang saya maksudkan, jangan menyibukkan diri dengan sibuk hatinya-pikirannya-darahnya-emosinya-batinnya-jiwanya-solatnya-hajinya untuk mencari uang, karena derajatnya uang itu yang mencari anda, anda adalah derajatnya dicari oleh dunia, anda tidak punya derajat yang rendah untuk mencari dunia kalo menurut Allah seperti itu.
Jadi sesungguhnya dengan anda tidak terlalu berkonsentrasi untuk mencari uang, sesungguhnya potensi uang yang akan datang kepada anda jauh lebih banyak daripada kalo anda sibuk mencari uang, ini ekonomi cyclical namanya.
#catatan kehidupan emhaainunnadjib untuk deltaFM

Cara memilih Presiden

Assalamu’alaikum. ww. Teman-teman yang baik, Seorang presiden, itu tidak harus seorang ahli pertanian, dia tidak harus seorang ahli perdaganngan, dia tidak harus seorang ahli agama, ahli psikologi, ahli apapun saja. Dia tidak harus seorang ahli, seorang ekspert dalam satu bidang tertentu. Karena sudah ada menteri-menteri yang dibagi jabatan dan peranannya justru dalam konteks keahlian spesialnya masing-masing.
 Yang dibutuhkan dari seorang presiden adalah kemampuannya untuk meramu, kemampuannya untuk meracik, kemampuannya untuk melakukan tawar-menawar antara bahan-bahan dalam sebuah makanan, kemampuannya untuk menyutradarai, untuk menciptakan satu lakon yang sebaik-baiknya, yang melezatkan pelaku dan penontonnya, seorang pengayom dari seluruh kemungkinan sehingga potensi-potensi yang terhimpun itu bisa berada dalam satu komposisi dan aransemen yang menghasilkan karya-karya yang setinggi mungkin tentunya.
Jadi yang dibutuhkan oleh presiden adalah kemampuannya untuk merangkum, kemampuannya untuk menyambung satu sama lain diantara potensi-potensi yang ada, dia tidak harus punya visi yang hebat mengenai pertanian, tidak harus punya visi yang hebat mengenai apapun saja, tapi dia adalah media yang menjadi ruang, dia yang menampung semua problem-problem kenegaraan dan potensi-potensi menteri-menterinya , dan dia yang mengatur bagaimana tata ruang yang baik, bagaimana maksimalisasi fungsi yang baik dari semua yang ada di dalam ruangannya itu.
Saya kira mudah-mudahan ini bisa sedikit menambah pengkayaan cara kita memilih presiden. Jadi sekali lagi mudah-mudahan kita mendapatkan seorang pemimpin yang tangannya luas, hatinya jembar, pikirannya juga lebar, pandangan matanya jauh karena pada setiap jangkauannya terdapat potensi-potensi yang dia akan sutradarai menjadi satu komposisi yang baik bagi masa depan seluruh bangsa kita.
#catatan kehidupan emhaainunnadjib untuk deltaFM

MENJEMPUT REZEKI DENGAN NANGKRING BARENG KULDON SARIAWAN

Tentang Perjalanan
14 Mei 2014. Malam itu, saya merasakan susah tidur. Akhirnya saya putuskan buka internet dan menuju ke gmail.com. Betapa terkejutnya saya ketika ada inbox dari pengelola kompasiana, karena saya mendapat undangan acara seminar tentang sariawan, tetapi agar tidak terkesan formal acaranya dinamakan NANGKRING BARENG KULDON SARIAWAN. Sebelumnya saya memang pernah mengirimkan tulisan mengenai pengalaman menarik ketika mengalami sariawan, dan 100 artikel terbaik akan diundang untuk mengikuti acara tersebut. Tertera di undangan bahwa acaranya jatuh pada tanggal 17 Mei 2014. “Itu artinya saya harus berangkat besok sore” bisikku, karena saat ini saya sedang berdomisili di Tulungagung-Jawa Timur.
Keesokan harinya saya langsung berburu tiket kereta api menuju Jakarta. Sempat kaget juga ketika tahu harga tiket lagi mahal-mahalnya, karena bertepatan dengan libur peringatan hari raya waisak. Tapi rezeki harus dicari dan akhirnya saya berani saja beli tiket PP dengan harga total Rp.600.000,- angka yang tidak kecil bagi saya yang saat ini sedang berpetualang sebagai penjaga toko swalayan. Alhamdulillah, akhirnya berangkat juga saya ke Jakarta sore itu.
Sampai di Jakarta, saya langsung menuju rumah teman yang berada di Ciputat untuk bertanya lokasi acara dan minta diantar (hehehe) pada saat hari-H, sekalian mampir ke rumah paman untuk bersilaturahmi. Jumat yang cerah itupun akhirnya banyak diisi dengan acara berkeliling kota.
17 Mei 2014. Hari-H. dengan diantar teman saya pun menuju tempat acara dibilangan Sudirman-Senayan. Dengan PD-nya kami masuk saja ke ruangan tempat acara setelah sebelumnya harus mengisi buku tamu, kartu undiandoorprize dan menerima bingkisan macam-macam dari deltomed. Ada Kuldon Sariawan, antangin cair, tablet dan permen, OB herbal, serta materi presentasi yang akan dibawakan oleh para pembicara. Kami pun sempat mencicipi coffe break yang nikmat sebelum acara dimulai.
Waktu sudah menunjukkan jam 10 lewat, acara pun dibuka oleh seorang penyiar radio genFM, Veve Adeline yang energic dan berbusana serba hijau. Ia pun menjelaskan rundown acara selama 2 jam kedepan: ada pembukaan, materi inti, games pick your herbal, menyusun puzzle dan lomba ngetweet.
Para Pembicara, dari kiri ke kanan: Dr. Abri, Dr. Dewi dan
Pak Nyoto
Bapak Mulyo Rahardjo, Managing Director PT Deltomed Laboratories yang diharapkan hadir untuk memberikan sambutannya ternyata berhalangan, dan digantikan oleh Bapak Nyoto wardoyo yang menjabat sebagai President Director PT Deltomed. Beliau menyatakan bahwa bidang Farmasi di Indonesia harus lebih maju dengan mengembangkan bahan-bahan herbal, karena selama ini sebagian besar bahan yang digunakan berasal dari luar negeri (impor). Ia pun melakukan kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia, diantaranya: UI, UGM, UNDIP untuk mengembangkan obat herbal. Dan saat ini PT. Deltomed Laboratories sedang merintis usaha tersebut dengan menggunakan teknologi tinggi dengan didukung oleh SDM yang handal sehingga dapat mencapai hasil yang maksimal.
Tentang Sariawan dan pengobatannya
Banyak orang menganggap sepele yang namanya sariawan. Padahal itu merupakan semacam alarm tubuh yang memberi tahu kita bahwa ada yang tidak beres dengan kesehatan kita. Bisa jadi adanya gangguan pencernaan (fisik), pola makan yang salah, maupun stress (mental). Disamping itu, sariawan juga cukup mengganggu penderitanya, karena ia akan mengalami rasa pedih di rongga mulut yang menyebabkan susah makan dan berbicara.
Menurut Dr. drg. Dewi Priandini, Sp.PM, dokter ahli penyakit mulut dari Departemen Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Sariawan (Stomatitis Aphthosa Recurrent / SAR) adalah semacam luka berbentuk bulat atau oval yang terdapat di dalam rongga mulut. Penyebabnya belum pasti, tetapi banyak faktor antara lain: faktor genetik dan faktor predisposisi seperti kelelahan, gangguan imunitas, hormonal, anemia, alergi, defisiensi nutrisi/vitamin, stress dan trauma serta gangguan pencernaan. Penyakit ini banyak diderita oleh kaum wanita dibanding pria, dan dapat sembuh dengan sendirinya karena merupakan self limiting disease. Untuk mempercepat penyembuhan, luka tersebut harus dirawat dan diobati. Dan agar terhindar dari SAR, dianjurkan untuk menjalani pola hidup sehat dan menghindari faktor pemicu SAR.
Sedangkan Dr. Abrijanto SB, yang menjabat Manajer Pengembangan Bisnis, menambahkan hal yang berkaitan erat dengan sariawan, yaitu panas dalam. Panas dalam merupakan suatu keluhan subjektif yang merupakan kumpulan gejala yang berupa: sariawan, sakit tenggorokan, perut kurang nyaman dan susah BAB. Banyak faktor yang menyebabkan panas dalam, diantaranya: pola makan yang salah dan kurang minum. Makanan-makanan yang bersifat panas, pedas, dan berminyak menyebabkan lambung menjadi panas yang menyebar ke seluruh tubuh, diantaranya ada yang naik ke mulut dan menyebabkan sariawan. Adapun untuk pengobatannya, hampir senada dengan yang dipaparkan Dr. Dewi, yaitu dengan menjalankan pola hidup sehat, makan dan minum yang cukup, olahraga teratur dan cukup istirahat. Selain itu juga dapat menggunakan obat-obatan kimia maupun herbal.
Saat ini masyarakat sudah mulai beralih menggunakan herbal sebagai sarana pengobatan. Karena diyakini bahan-bahan herbal mempunyai khasiat yang setara dengan obat konvensional. Apalagi banyak ragam bahan alami disekitar kita yang berfungsi sebagai obat herbal, seperti daun saga manis, bunga krisan dan alang-alang. Namun kunci khasiatnya terletak pada bagaimana kita mengolah bahan alami tersebut agar bermanfaat dan tidak menimbulkan efek negatif untuk kesehatan. Bahan-bahan tersebut harus dicuci bersih agar tidak membawa material-material yang berbahaya bagi tubuh, dan harus dikeringkan agar tidak tumbuh jamur yang merugikan tubuh.
Menindaklanjuti hal tersebut, PT. Deltomed sebagai salah satu produsen obat-obatan ternama di Indonesia, meluncurkan produk herbalnya dengan nama Kuldon Sariawan. Formula herbal yang ada di Kuldon Sariawan antara lain daun saga manis yang mengandung glycyrrhizin, berfungsi sebagai anti radang. Bunga krisan dan akar alang-alang mempunyai khasiat menyegarkan (penurun panas) serta mengurangi rasa sakit. Untuk hasil lebih efektif, ditambahkan juga ekstrak Licorice dan ekstrak herba timi yang dikenal sebagai anti radang dan antiseptic.
Bapak Nyoto Wardoyo juga menambahkan bahwa Kuldon Sariawan telah melalui pemeriksaan mutu berdasarkan simplisia (sesuai farmakope herbal Indonesia), Ekstrak untuk meneliti organoleptis, kadar air. Tablet untuk meneliti bulk density, waktu hancur, friability, dll. Kuldon Sariawan, salah satu produk herbal yang dihasilkan Deltomed sudah memiliki sertifikasi halal, CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik) dan ISO 9001-2008 yang menjamin kualitas produk.
Pemaparan mengenai sariawan dan proses produksi yang dilakukan oleh Deltomed, jika dijelaskan secara lengkap dan detail mungkin akan menghasilkan buku 500 halaman. (Hehehe). Jadi saya cukupkan sampai disini saja.
Setelah materi inti selesai, pembawa acara memberikan kesempatan untuk bertanya kepada 3 orang yang beruntung. Pertanyaan pertama tentang seputar penanganan tanaman herbal sebelum dikonsumsi. Dijelaskan bahwa tanaman yang sudah diolah sebaiknya segera dikonsumsi agar tidak tumbuh jamur yang dapat merugikan tubuh. Kemudian tentang filosofi pemilihan nama Kuldon Sariawan, ini yang menurut saya paling menarik, karena jawabannya adalah kuldon = cool + down (mendinginkan & menurunkan-panas) à njawani (terkesan jawa) banget. Hahaha.. Dan yang terakhir adalah semacam saran agar Deltomed dapat menginspirasi produsen obat yang lain untuk mengembangkan dan memasyarakatkan pengobatan cara herbal.
Hiburan Juga Ada
Saatnya untuk bersenang-senang. Karena setelah sesi yang cukup serius, para peserta akan dihibur dengan game-game menarik yang dilakukan secara berkelompok. Dimulai dengan game pick your herbal, peserta diminta untuk memilih bahan-bahan herbal untuk membuat Kuldon Sariawan dan menyusunnya pada papan yang telah disediakan lengkap dengan penjelasannya. Kemudian dilanjutkan dengan game menyusun puzzle yang cukup menghebohkan ruangan. Karena peserta harus mondar-mandir untuk bertukar potongan puzzle dengan kelompok lain. Game ini dimenangkan oleh grup yang bernama “Lengser”, entah lengser kemana. Kelompok yang memenangkan game masing-masing mendapat hadiah kaos dan payung cantik.
Game Pick Your Herbal
Game Menyusun Puzzle
Undian doorprize ada 3 peserta, masing-masing mendapat sebuah handphone. Ada yang menarik pada saat pengundian doorprize ini, sebenarnya teman yang mengantar saya tadi dapat undian, tapi dia pulang duluan, saya bisa saja maju kedepan dengan berpura-pura memakai namanya, tapi demi sportifitas dan kejujuran saya tidak maju ke depan, apalagi sehari sebelumnya saya juga telah mendapat rezeki yang tidak disangka-sangka, paman yang saya kunjungi memberikan hp lamanya buat saya, sony ericsson xperia, worthed banget buat saya yang selama ini setia memakai hp jadul.
Yang terakhir adalah pengumuman juara ngetweet terbanyak, adalah Zulfikar Al A’la, ia langsung mendapatkan golden tiket ke solo, jadi sisanya 9 tiket diperebutkan dengan tulisan reportase terbaik.
Acara ditutup dengan berfoto bersama dan makan siang yang yummy..
Para Peserta Acara Kompasiana Nangkring Bareng Kuldon Sariawan
Saya pun langsung menuju stasiun pasar senen untuk melanjutkan kehidupan saya di Tulungagung tercinta.

“Anakmu Bukanlah Anakmu, Tolol..”

Suatu malam Saridin menemui Sunan Kudus untuk menangis dan berkisah tentang istrinya yang meninggal dan anaknya yang hilang. ia tidak tahu harus kemana cari anaknya dan harus bagaimana menyikapi rasa kehilangan yang sedemikian berat tanpa akhir.
Sunan Kudus tertawa terpingkal-pingkal. “Kamu sudah benar ketika menyimpulkan bahwa aku ini bukan Cina, bukan Arab, bukan Persia dan bukan Jawa. kamu melihatku persis seperti Tuhan memandangku: aku adalah orang Bumi, khalifah fil ardl”, berkata sang Sunan. “Maka sekarang kamu yakin bahwa anakmu itu adalah anakmu? bukankah ia sekedar seseorang yang dilewatkan melalui kamu, sebagaimana orang lain dilahirkan lewat bapak dan ibunya? maka bukankah di mata Tuhan semua anak adalah sama saja? Jadi sekarang berbaiklah dan bersantunlah kepada anak siapapun yang kau jumpai. maka anak yang kau anggap anakmu itupun akan memperoleh perlakuan yang sama dari orang yang mengasuhnya. Jadi kenapa kamu menangis, tolol?”
_repost

Runtuhnya Legenda Sakit Kudis

Pada bulan-bulan pertama Saridin nyantri dan bertempat tinggal bersama para santri lain di Pesantren Sunan Kudus, yang menjadi tema utama adalah bagaimana kira-kira bentuk pertemuan antara badan Saridin dengan penyakit kudis.
Semua teman-temannya sudah penasaran dan ingin menyaksikan setiap detil dari tema tersebut. Tiap saat, siapapun saja yang berpapasan atau apalagi duduk-duduk bersama Saridin, selalu berusaha melirik atau mencuri pandang ke arah tangan Saridin.
Apakah sudah mulai ada satu dua bintik kecil di sela-sela antara dua jari Saridin. Atau apakah sudah mulai tampak ada rasa tidak jenak pada gerak-gerik Saridin. Lebih khusus lagi setiap santri berlomba ingin menjadi orang pertama yang menyaksikan Saridin menggaruk-garuk entah bagian mana dari badannya.
Kabarnya Saridin pernah belajar ilmu kanuragan sebelum masuk pesantren. Kalau orang belajar pencak atau silat, biasanya juga belajar ilmu ramuan atau ilmu obat-obatan yang digali dari khasiat benda alam, terutama tumbuh-tumbuhan. Tidak perlu disebut ilmu obat-obatan tradisional, sebab waktu itu belum ada ilmu pengobatan modern.
Tapi Saridin sering berlagak. Coba saja buktikan kalau ia memang sakti dan sanggup mengelak dari komunitas kudis!
Soalnya sudah menjadi pemandangan rutin di lingkungan itu, seseorang menggaruk-garuk tangan kaki dada bahkan mungkin (maaf) selangkangannya.
****
Jangan marah dulu. Bukannya pesantren itu identik dengan sakit kudis. Bukannya Kiai atau Ulama itu pemimpn masyarakat yang tidak memperhatikan kesehatan. Bukannya lingkungan santri itu kemproh dan pengotor.
Terus terang saja ada sesuatu yang wingit dan misterius pada yang namanya penyakit kudis di pesantren. Tapi penjelasan juga bukan untuk memitoskan kudis atau melegendakannya. Ini sekedar realita yang harus dihadapi atau dipahami secara santai, tanpa perlu didramatisir atau membuat kitabengkerengan alias berang atau apalagi naik pitam.
Pada mulanya penyakit kulit adalah wabah normal-normal saja. Dulu, mungkin ada satu dua orang yang membawanya entah dari hutannya Lowo Ijo atau ketularan bajak laut Portugis. Kemudian karena kehidupan sehari-hari para santri itu selalu bergesekan satu sama lain, selalu bersama-sama, komunal, makan bersama tidur bersama – maka proses menularnya kudis berlangsung dalam percepatan yang tidak rendah.
Dalam waktu yang lama wabah itu tak bisa gampang ditanggulangi. Apalagi urusan pesantren memang banyak, dan tidak ada juzz atau fakultas atau departemen khusus yang memperhatikan hanya soal kudis melulu.
Pun jangan lupa para santri Sunan Kudus tiap hari sangat intensif membantu Kiai mereka menangani masalah-masalah yang berkenaan dengan konflik antara Adipati Jipang alias Haryo Penangsang dengan Joko tingkir alias Hadiwijaya, yang merupakan warisan atau kelanjutan dari konflik perebutan kekuasaan diantara keluarga kerajaan sebelumnya.
***
Jadi, problem kudis itu bukan mencerminkan kotornya kehidupan pesantren, melainkan sekedar tidak sempat masuk dalam daftar skala prioritas kesibukan mereka.
Maka akhirnya kudis justru didayagunakan. Kita tahu salah satu pelajaran dan etos mental yang dibangun dalam pendidikan pesantren adalah kesanggupan untuk berprihatin, kemampuan untuk menderita, atau kekuatan menghadapi segala siksaan. Dalam hal itu, kehadiran penyakit kudis bisa didayagunakan untuk bahan penguji mental yang efektif bagi kaum santri.
Coba, bisakah santri khusyuk bersembahyang dalam keadaan badannya gatal-gatal? Bisakah konsentrasi belajar dan mengaji dalam situasi disiksa oleh kejamnya kudis. Bisakah ia menahan diri untuk tidak menularkan kudisnya kepada orang lain. Artinya bisakah kita selalu melindungi orang lain dari hal-hal negatif pada diri kita?
Itu semua adalah pelajaran kekuatan mental, daya konsentrasi, tapi juga akhlak sosial yang tinggi.
Kalau sampai seorang santri kena kudis, itu bukan karena temannya sengaja menularkan, melainkan karena terpaksa kena. Benar-benar terpaksa, karena tidak ada orang belajar nyantri dengan cita-cita mendapatkan sakit kudis.
Kalau sudah demikian, setiap santri akan bergumam diam-diam kepada dirinya sendiri: “Kalau belum kena kudis, berarti belum lulus sebagai santri!”
Maksudnya tentu bukan kudis itu sendiri yang penting, melainkan ‘manfaatnya’ terhadap pembinaan mental, ketahanan diri, peningkatan daya konsentrasi, kesetiakawanan untuk melindungi orang lain, dan seterusnya.
 Oleh karena itu, secara tak sengaja semakin lama masalah kudis ini semakin menjadi mitos di kalangan santri. Penyakit kudis melegenda sedemikian rupa.
Sesungguhnya ini juga suatu bentuk perlawanan psikologis terhadap sesuatu hak yang tak bisa diatasi atau tidak sempat untuk ditangani secara serius.
Daripada budaya kudis menjadi cacat, mending dikelola agar menjadi sesuatu yang positif. Kudisnya tetap, tapi manfaatnya yang bisa digali dari kehadiran kudis bisa dimaksimalisasikan.
Bahkan terkadang penyakit kudis bisa menjadi alat atau pendorong suatu bentuk tarekat yang sangat bagus efeknya bagi mentalitas dan bathin para santri. Kuman-kuman kudis seakan-akan sengaja ditaburkan oleh malaikat Allah untuk menjadi fasilitator dari keperluan-keperluan para santri untuk bertapa uzlah, atau menyepi.
Ini serius. Coba saksikan ini: seorang santri dikerubungi kuman kudis sekujur badannya. Bintang-bintang bertaburan di seluruh kulitnya. Sendi-sendi jadi kaku, jari-jarinya tak bisa ditekuk. Bisa dibayangkan bagaimana ia mandi, tidur, shalat, atau apalagi berlatih silat?
Maka ia menjadi kesepian. Tersisihkan, bahkan dari dirinya sendiri. Ia harus duduk diam, caring atau berjemur di bawah cahaya matahari kalau pagi. Ia hampir tak bisa melakukan apapun. ia harus bertapa di dalam ketersiksaannya. Ia dipaksa untuk menelusuri wilayah dalam dirinya. Ia dipaksa untuk merenung. Berpikir. Merasakan kesunyian dan kesendirian.
Percayalah, kalau si santri yang mengalaminya cukup cerdas dan peka nuraninya – maka ia akan mendapatkan manfaat intelektual maupun spiritual yang berderajat tinggi. Ia menjadi canggih dalam mengontrol diri, menyaring gagasan, dan menyeleksi perasaan. Ia menjadi rendah hati dan tahu apa makna tidak sombong dalam kehidupan.
Sama dengan Dr. Kuntowijoyo yang sehabis sakit sampai sekarang mengalami kesulitan untuk mengucapkan kata karena lemah syaraf motoriknya untuk itu. Beliau menjadi lebih kontemplatif, sublime, selektif, dan gagasan-gagasannya selalu mengkristal. Itulah fungsi penyakit.
***
Akan tetapi kayaknya Saridin tidak memerlukan fasilitas dan metode tarikat semacam itu.
Sampai berbulan-bulan ia tinggal di pesantren, teman-teman santrinya kecele. Sama sekali tidak ada gejala ia garuk-garuk. Tak ada bintik-bintik kudis sedikitpun di kulitnya.
Para santri menjadi sangat jengkel. Tapi Saridin gak ngawaki: belagak pilon. Tidak tampak bangga karena itu dan berlaku seolah-olah tak ada apa-apa.
Tapi bagaimana ia bisa meruntuhkan mitos kudis itu? Sederhana. Pertama ingatlah air apu atau gamping. Mana tahan para kuman itu terhadap panas badan Saridin. Kedua, ia biasa meraih daun kates atau ijo-ijoan apapun, dan langsung saja ia makan bak kambing – tanpa direbus. Mana kuat itu kuman kudis terhadap pahit darah Saridin. Kemudian jangan lupa: Saridin sangat suka berendam di suatu tempat yang airnya mengandung belerang.
_repost